Jakarta, Januari 2012
Eh. Aditya...
Lagi. Pemandangan ini kembali
mengisi seluruh sudut pandanganku. Ya, ini bukan kali pertama aku melihatnya di
kota ini, setelah perpisahanku denganya. Hatiku sudah mulai terbiasa dengan
pemandangan ini, tak lagi sehancur seperti pertama kali melihatnya beberapa
bulan lalu. Tapi, perasaan magis ini masih ada, aku masih bisa merasakan saat
ini jantungku berdegup hebat.
***
Jakarta, Agustus 2011
"Aaaaah... Selamat pagi, Minggu."
Minggu di pagi hari. Tak biasanya, aku bertemu dengan pagi di hari minggu.
Aaahhh, rasanya masih ingin bermanja-manja dengan kasurku, berkali kali aku
merenggangkan otot-otot di tubuhuku, menggeliat kesana-kesini. Tapi, seluruh
organ tubuhku rasanya sulit sekali kuajak berkompromi dengan pagi.
"Ayoo bangun, Di." aku
memerintahkan diriku sendiri yang sedari tadi hanya mengulet di atas tempat
tidur.
Aku mulai beranjak dari tempat tidurku,
melawan keras rasa malas yang bergelayut di tubuhku. Kemudian langkahku terhenti
tepat di depan cermin. Aku tertegun, aku melihat betapa menyedihkanya aku.
Tubuhku yang kecil semakin terlihat kurus kering, lingkar hitam di sekeliling
mataku semakin terlihat tegas, mata ku sembab karna menangis semalaman, wajahku lesu dan kusam. Ya Tuhan, betapa menyedihkanya aku.
Peristiwa kemarin malam kembali berputar
sempurna di otak ku. Sudut mataku mulai basah. Ahh ayolaaah. Di. Terlalu
pagi untuk menangisi kesedihanmu. Aku mengibas-ngibaskan mataku yang
mulai banjir, menahan rebasan air mata yang terus menyembul.
Aku tak membiarkan hatiku berpikir keras
mempertanyakan pertanyaan yang belum siap kudengar jawabanya. Apa yang
sedang Aditya lakukan di Jakarta? Liburan kah? Mengapa dia tak mencoba
menemuiku? Atau kedatanganya ke kota ini karna wanita itu? Semua
pertanyaan itu kutepis jauh-jauh. Aku ingin sedikit lebih menyayangi diriku.
***
"Lun, gue udah sampe yaa." Pesan
singkat untuk sahabatku.
"Oh, iya-iya ini gue juga udah mau
sampe, Di."
"Mau sampe mane? Pager rumah
lu?"
"Hehehe :p"
Aluna, dia adalah orang paling menyebalkan masalah
waktu. Jam waktu yang dia gunakan bisa 2-3 jam lebih lambat dari waktu yang
orang-orang di seluruh dunia gunakan. Entah dia tinggal di belahan dunia bagian
mana. Aku sudah terbiasa dengan jam karetnya.
Oke, berarti aku harus menunggunya kurang
lebih 2 jam lagi. Seharusnya kami janji bertemu di coffee shop di mall ini.
Coffee shop baru, aku dan Aluna ingin mencobanya. Tapi aku tak ingin menunggunya lama-lama di sana, bisa berapa cangkir kopi yang harus aku habiskan untuk
menunggunya? Aku memutuskan berkeliling di toko buku Gramedia, melihat-lihat
buku barangkali ada yang memikat hati.
***
"Di, ngapain?"
Aku menoleh ke sumber suara itu berasal.
Nathan.
"Aih, Nathan. Long time no see. Sama
siapa? Korban barunya yah?" Aku melirik ke arah wanita cantik di sebelah
Nathan.
"Haha resek ye. Kenalin, ini Anggun.
Anggun, kenalin ini Diandra. Dulu sih wanitanya Aditya, gak tau deh kalo
sekarang, haha."
"Ha..ha..ha.." Ketawa ku garing,
entah bagian mana yang harus ku tertawakan. Jika itu tentang Aditya, semua
terasa gelap.
"Yeee, langsung kaku. Adit ada tuh di
kost-an. Dia udah pindah ke sini kan sekarang."
"Oh ya? Oh, salam aja deh ya."
Lututku lemas, bibirku mulai bergetar. Aku tak berani berkata banyak, nafasku
mulai tersengal-sangal. Tidak lucu jika aku pingsan di depan Nathan mendengar
kabar Aditya. Ya dia di Jakarta, yang kulihat semalam memang Aditya. Aditya-ku.
***
"Hehehehe Sory lama ya gue?"
Aluna menghampiri meja ku. Aku tak menjawabnya. Aku masih saja mengaduk-aduk
kopiku sedari tadi. Entah sudah berapa ratus kali aku mengaduknya tanpa kuminum setegukpun. Lamunanku ikut tenggelam dalam larutan kopi yang kuaduk
sendiri. Aku tenggelam.
"Di..."
"Di, yailaaaah gitu aja ngambek sih,
iya iya sory gue kelamaan datengnya. Maaf ya, Sayang." Aluna merengek
padaku. Bukan, aku bukan sedang marah padanya. Hanya saja keadaanku menjadi
buruk setelah pertemuanku dengan Nathan tadi.
"Diiiii..."
"Gue barusan ketemu Nathan."
Jawabku. Suaraku terdengar parau. Aku terus mengaduk cangkir kopiku.
"HAHH? Sama Aditya?" Aluna pun
sama terkejutnya denganku.
"Nggak kok, sama cewenya."
"Terus terus?"
"Yaudah, gakpake terus-terus."
"Terussssss???"
Aku diam. Mengatur nafasku yang sejak tadi
tak tau aturan.
"Yaaa, sama kaya yang mau gue
ceritain ke lo hari ini. Semalem gue liat Aditya di mcD." Senyumku
menyimpul. Butiran air mataku merebak berebut ingin keluar.
"Gue liat dia lagi asik banget ketawa
sama temen-temenya." Air mataku tumpah, bercampur dengan seduhan kopi yang
tak lagi hangat.
"Terus tadi gue ketemu Nathan di
Gramedia, dia cerita kalo Aditya udah pindah ke Jakarta sekarang. Udah hampir
sebulanan"
"Yaa, gitu deh pokoknya"
Kalimatku mulai terbata-bata. Aku tak sanggup lagi melanjutkan ceritaku.
Aluna mencoba menenangkanku, mengusap-usap
bahuku menyingkirkan kesedihan yang tertumpuk di atasnya.
"Udah ya, Di. It's clear enough. Lo
udah ambil langkah buat pergi, lo gak bisa balik lagi buat ambil apa yang udah
lo tinggalin,"
"Ada beberapa hal yang sengaja Tuhan
ciptain untuk kemudian ninggalin kita. Untuk dilihat, seberapa besar rasa
syukur kita ketika diberi dan kemudian diminta kembali." Kucermati setiap
kata yang Aluna keluarkan. Tapi tidak, semua tertahan pada tembok yang aku
bangun begitu tinggi. Kenapa?
"Tapi kenapa, Lun? Gue salah apa sih
sama dia? Bahkan dia gak pernah nyoba buat nguatin gue saat gue hancur. Dia gak
pernah nyoba buat pertahanin gue saat gue nyerah dan mutusin buat pergi. Gue
gak minta maaf dia, gue cuma minta dia, gue butuh dia buat nguatin gue. Dia
di mana?" Semuanya keluar. Teropi ikhlas, topeng tegar, semua hancur.
Terlihat jelas lempengan-lempengan hatiku yang tertata tak beraturan. Hancur,
berantakan.
"Semua pilihan, Di. Menjadi baik atau
burukpun pilihan. Gue yakin Aditya punya alasan akan pilihanya sendiri."
"Ya tapi kenapa harus sejahat itu, Luuuun?" Suaraku meninggi, tangisku memecah ke seluruh peredaran darah, air
mata membanjiri kesedihanku.
" Pertanyaan 'kenapa' itu
semestinya ga ada. Karena setiap lo tanya kenapa, apapun penjelasannya, pasti
berujung ke Tuhan. Karena Tuhan. Kalo ada masalah yang ga bisa lagi
diterima sama logika, ya udah, balikin aja ke yang udah pasti; Tuhan.”
Aku termengu, diam. Apa yang dikatakan Aluna benar.
Bagaimana bisa selama ini aku begitu sombong pada Tuhan, meragukan semua
rangkaian rencana-Nya hanya karna ekspektasiku akan mimpi yang terlampau
tinggi. Ahh Tuhan, aku malu sekali pada-Mu.
"Hey, goy it?" Aluna menatapku, tersenyum.
Senyum mengajaku bangkit dari lubang yang aku gali sendiri. Bukan lubang ini
yang menjerat, tapi aku yang memang tidak ingin bangkit. Aku bodoh.
"He'eh..." Aku tersenyum, masih dengan
sisa-sisa air mata yang selama ini mengaburkan pandangan ku.
Aku harus bangkit, bukan waktunya bertanya kenapa,
bukan waktunya menghakimi siapa yang salah siapa yang benar, bukan waktunya
larut pada kesedihan yang sengaja aku buat semakin pedih. Aku berhak bahagia,
bagaimanapun caranya. Aku ikhlas, aku belajar untuk ikhlas. Aku
mengikhlaskanmu. Aditya...
***
Jakarta, Maret 2012
"Halo, Bi. Kamu di mana?
"Aku masih di kantor, Di. Kayanya lembur,
kenapa?"
"Yaaah, masih lama dong yaa?"
"Iya nih Sayang. Kenapa?"
"Aku mau ice cream, Bi. Aku
udah sesesai ngantor mau mampir ke mcD sama kamu maksudnya."
"Yah gimana ya. Maaf ya, Sayang. aku ada
lemburan."
"Yaudah gakpapa, aku ke mcD aja sendiri. Gakpapa
kan?"
"Sendiri? Naik apa?"
"Gampanglah, taksi juga banyak."
"Yaudah, jangan kemaleman ya."
"Oke, Sayang."
***
Seperti biasa, Jakarta dengan macetnya. Huffttt, siapa
yang tidak menghela nafas dengan macetnya Jakarta. Rentetan mobil
berlomba klakson semerdu mungkin. Bodoh, dipikirnya dengan meng-klakson semau
jidatnya jalanan bisa mereka sulap menjadi lancar?
Aku mengeluarkan I-Touch dari tasku, music mungkin
dapat mengurangi kejenuahanku dari macet. Kusandarkan kepalaku, meregangkan
otot-otot yang kaku lantaran seharian kerja. Ternyata di luar gerimis, ah indah
sekali kaca-kaca mobil dipenuhi titik-titik tetasan hujan. Aku memandangi
sekeliling jalanan. Jalanan mulai basah, aku membuka kaca mobil menghirup bau
hujan yang telah menyatu dengan bau tanah, nikmatnya.
Di kejauhan aku melihat beberapa pedagang Gultik
sedang bersiap membuka lapak mereka.
Ingatanku tertuju pada Aditya. Kemarin malam aku melihatnya di sini, dan
memang bukan sekali aku melihatnya di sini. pemandangan tidak
asing, pria dengan jaket hitamnya sedang duduk di pinggir gerobak pedagang
Gultik. Aditya. "Hay, Aditya" Tanyaku dalam
hati saat itu, seraya mengembangkan senyumku. Ya, sudah lama aku
berdamai dengan hatiku, memaafkan semua luka yang telah Aditya tinggalkan, tak
ada lagi perih yang mengiris tiap kali Aditya menyentuh hidupku.
Sudah kesekian kalinya aku menikmati pemandangan seperti itu dari
kejauhan, dan diam-diam. Aku mulai rasakan luka itu
sudah kering, sembuh dengan beriringnya waktu. Tapi entah kapan, aku berani
untuk kembali hadir dalam hidupnya. Sebagai Diandra Putri yang baru.
***
Sampai mcD, aku mengambil meja di sudut, dengan dua
gelas mc flury rasa caramel dan permen. Entah seperti ada yang mengganjal.
Hatiku seperti dengan lantangnya menyebutkan nama Aditya. Aku mengeluarkan
ponselku.
Kayaknya aku liat kamu lagi makan Gultik
kemarin malam ya. Kamu di Jakarta, Dit?
-Sending Message-
Aditya is calling...
***
Di
hadapanku, ada sosok yang sesungguhnya begitu aku rindukan. Jika boleh, ingin
sekali rasanya menyeret tubuhku kedalam pelukanya. Tapi tidak, aku tak ingin
ego ini merusak kembali apa yang dengan susah payah telah aku susun rapih.
Suasana
ini hangat, walau sepertinya terasa canggung dan palsu. Tapi waktupun tau,
kami hanya butuh bumbu adaptasi.
"Kamu
sudah maafin aku, Di?" Tanya Aditya seketika di sela candaan kami.
Terkejut.
Rasanya seperti membuka luka itu lagi. Aku tersenyum, mengaduk gelas icecream-ku. "Sudah sejak lama, Dit" Jawabku tanpa melihat wajahnya.
Aditya
tersenyum, aku pun. Hati kami berbicara, aku tak banyak berkata. Biar hati yang saling berdiskusi, menjawab pertanyaan
yang tak terucap, memberi jawaban yang tak berkunci, memaafkan luka yang lama
tersimpan.
Namaku
Diandra Putri, tanpa luka dihati, tanpa dendam yang mengalir. Kami baru, dengan
cerita baru..
#CERBUNG4
by - @momonicaaw