"Maafin aku, Di"
Entah sudah berapa ribu aku dihujani
pesan macam itu darinya. Sejak pertemuan kami yg terakhir, aku tak lagi
mengizinkanya masuk kedalam hidupku. Entahlah aku harus menyebutnya apa lagi,
luka yang dia tinggalkan sepertinya terlalu dalam meski sudah ditutupi ribuan
maaf darinya. Hati ku masih penuh dengan lubang yg menua.
Kerap kali aku mencoba berdamai dengan
hatiku, ikhlas dengan jalan yang Tuhan kehendaki. Aah, tapi sulit sekali
rasanya. Peristiwa sore itu terekam sempurna di memoriku, pertanyaan itu
kembali menohokku. "Kenapa kamu
tega, Dit?"
Its
really over
You
made your stand
You
got me crying
As
well as you planned
But
when my loneliness is through
I'm
gonna find another you
15 bulan sudah aku lalui. 15 bulan aku
menata kembali hatiku. Menjalani hari dengan kebiasaan baru. Tidak ada lagi
morning kiss tiap kali aku membuka mata, tidak ada lagi obrolan ringan walau
hanya sebatas text, tidak ada lagi suara dengkuranmu yang tertidur saat aku
merengek memintamu menelfonku hingga larut malam. Tidak ada lagi kamu.
Matahariku.
Berapa ratus hari aku lalui tanpa
pagi? Menunggu mentari yang tak kunjung datang. Semua terasa seperti
malam yang tak berkesudahan. Bertahan hidup tanpa matahari, aku layu dan menunggu
gugur itu datang.
Sering kali aku merengek pada hati,
bertanya pada angin yang tiap malam memelukku dalam kesunyian. Apakah kau merindukan kita? Apakah kau merindukan tiap detik kebiasaan yg kita lalui dalam
jarak? Apakah kaujuga kehilangan pagi di setiap harimu? Apakah kauturut
hancur setelah menghempaskan hatiku sedemikian kencang? Apakah kautetap
bersinar, setelah ketiadaanku dalam nafasmu?
***
Apakah kau sekarang
bahagia denganya , Dit? Pertanyaan
ini kerap kali berkecamuk, saat hati yang menolak keras pada rindu yang telah
terbiasa berkunjung datang dan pergi. Kubiarkan pertanyaan itu tak terjawab
hingga detik ini, entah harus sehancur apa lagi hati ini jika harus mendengar
kabar baik mereka berbahagia di luar sana. Aku bersumpah aku tak akan rela.
Nadia... Namanya, mampu membuat peredaran
darahku berpacu seratus kali lebih cepat dari biasanya. Perempuan laknat ini,
entah seberapa besar aku membencinya. Tuhan boleh marah padaku, karna telah
mengutuk ciptaan-Nya sedemikian keji. Biarlah, aku tak peduli aku bahkan tak
akan rela melihatnya bahagia, terlebih lagi jika bahagia bersama Aditya.
***
Jakarta, Agustus 2011
“Sudah, Di?”
“Iya, Bi. Sebentar lagi aku turun.”
Bintang, laki-laki yang tengah aku
pacari 5 bulan ini. Aku tak tega bila harus menyebutnya pelampiasan kekecewaanku
pada Aditya. Hatinya begitu lembut, dia seperti malaikat yang dikirim tuhan
untuk merangkulku yang sudah tidak tau lagi bagaimana cara berdiri dan
menjalani hidup. Dia seperti bintang, yang membuat malamku tetap bercahaya
walaupun pagi tak pernah datang.
“Kamu gak masuk dulu ketemu Ibu?”
Tanyaku sedikit tergesah-gesah sembari menyambut helm yang Bintang sodorkan
padaku.
“Hhhmm, gak usah kali ya? Takut
kesorean, nanti aja pas anterin kamu pulang.” Jawabnya singkat kemudian
menyalakan mesin motornya.
“Yaudah yuk.”
Motor Bintang melesat sedikit kencang,
mengejar waktu untuk menonton film yang telah kami perbincangkan, sebuah film
yang diangkat dari novel yang pernah kubaca sebelumnya. Sebenernya Bintang
tidak terlalu suka nonton, apalagi baca novel. Tapi itulah, dia selalu menuruti
semua keinginanku.
"Kamu mau makan apa?" Tanya
Bintang setelah kami selesai nonton.
"Hmm apa ya? McD aja deh, beliin
aku paket Happy meal, hehe." Jawabku manja
"Ih Happy meal mulu, dasar anak
kecil." Bintang merangkul tubuhku yang mungil kemudian mendekap ku kedalam
ketiaknya.
Tuhan, seketika aku teringat pada
Aditya, perlakuan Bintang seolah menyeretku pada rekam jejak yang biasa aku dan
Aditya lakukan. Bagaimana Aditya sangat senang memendam wajahku ke dalam
ketiaknya. Dan aku dengan kalapnya
menciumi setiap inch bau ketiaknya. Aku terpaku.
"Heh, bengong. Kenapa?" Suara
Bintang memecah lamunanku yang terseret jauh pada kebiasaan kecil aku dan
Aditya.
"Ayo, katanya mau makan?"
Bintang menyeret tubuhku yang masih terkunci dalam rangkulanya. Aku masih
terdiam.
Sudahlah
sudahlah sudahlah... Aku
terus menggumamkan kalimat ini dalam hati, menepis jauh-jauh luka yang pernah
dengan sangat membuatku lebur. Aku berhak bahagia, bagaimanpun caranya.
***
Mc Flury Caramel yummie, aku nikmati 1
gelas ice cream caramel suap demi suap, aku nikmati sensasi dingin tiap sendoknya, yaah aku
sangat suka ice cream. Menu wajib yang harus aku pesan tiap kali ke tempat ini,
bahkan tak jarang aku kesini hanya untuk menikmati segelas dua gelas ice cream.
Deg! Seketika badanku membeku, seribu
kali lipat lebih dingin dari ice cream yang sedang kumakan. Mataku membelalak,
seluruh peredaran darah di tubuhku seolah tersumbat, wajahku memerah biru. Aku
mulai merasakan sesak yang luar biasa, sistem pernapasanku tidak lagi berfungsi
semestinya. Pandanganku terhenti pada 1 titik.
Aditya. Wajahnya kini berada kurang
dari 20 meter dari pandanganku. Pikiranku entah lari ke mana. Tubuhku kosong,
nyawaku sudah tidak lagi pada tempatnya. Laki-laki ini setelah ratusan hari aku
lalui tanpa sosoknya, sekarang dengan tampannya dia tertangkap pandanganku.
Beberapa meja dariku, dia tertawa begitu lepas bersama 4-6 orang kawannya. Ya,
dia tertawa begitu lepas, aku bahkan nyaris tak pernah lagi tertawa selepas itu
sejak dia menghiantiku. Tapi ternyata tidak untuk nya. Bahkan dia tak pernah
mencariku meski kami berada di kota yang sama. Apa arti ribuan maaf yang selama
ini dikirim padaku? Tak sesuai dengan fakta yang ada di mataku. Semua omong
kosong belaka.
Sudut-sudut mataku mulai mengeluarkan
butiran-butiran air. Semakin deras tak terkendali, semua kesedihan yang selama
ini kutahan seolah memuncak. Tuhan, setidak-berharga itukah aku baginya?
Setidak-peduli itukah dia akan luka yang dia tinggalkan?
"Di, kamu kenapa? Saraf ku tak
lagi bisa menghentikan airmata yang mengalir begitu deras, bahkan suara
laki-laki di depanku ini terdengar begitu samar di telingaku meski dia telah
mengucapkannya puluhan kali. Otakku hanya bekerja untuk memproduksi air mata
sebanyak-banyaknya. Tanpa pedulikan faktor dari luar. Otakku hanya bekerja pada
apa yang hatiku kehendaki. Menangis sekeras mungkin.
Angin kini memberi jawaban, pada
pertanyaan yang tak pernah kutagih jawabanya. Ya, dia tetap bahagia. Dengan
atau tanpaku. Dia tetaplah matahari, yang bersinar walau aku berhenti bernafas.
So
go on baby
Make
your little get away
My
pride will keep me company
And
just gave yours all away
Now
I'm gonna dress my self for two
Once
for me and once for someone new
I'm
gonna do somethings you wouldn't let me do
Oh
I'm gonna find another you
#CERBUNG2
by - @momonicaaw
Tidak ada komentar:
Posting Komentar