“Kelak di masa depan akan ada penemuan luar biasa,” ucapku pada perempuan
berparas cantik yang duduk lesehan di sampingku itu. Lalu lintas depan Circle K
Kemang Raya masih ramai, kendaraan berlalu lalang dari dua arah, macet dan
semrawut. Motor, mobil pribadi, Kopaja, hingga bajaj yang knalpotnya
mengepulkan asap. Beberapa pejalan kaki di atas trotoar tampak gelisah dan
terburu-buru. Samar-samar tercium wangi sate Padang yang dibakar di atas
tungku, dan aroma nasi goreng dari gerobak yang mangkal tak jauh dari situ.
Perempuan di sampingku tersenyum, kemudian membuka kaleng minuman dingin di
tangannya. “Namanya mesin waktu,” lanjutku tanpa mengalihkan pandangan dari
kedua mata beningnya. “Dengan itu kamu bisa melakukan sesuatu yang selama ini
hanya menjadi khayalan bagi banyak orang.”
“Melihat
masa depan?” tanyanya.
“Bukan,”
aku menggeleng. “Mesin waktu tak diciptakan untuk itu. Bahkan di masa depan
nanti, orang-orang pintar, – para ilmuwan jenius itu tetap akan membiarkan masa
depan menjadi misteri. Agar hidup tetap berjalan seru dengan segala misterinya.
Agar manusia tak bertindak semaunya setelah melihat masa depan mereka yang
indah, juga agar mereka yang bermasa depan buruk tidak dihantui ketakutan yang
sia-sia.”
“Bukankah
dengan melihatnya, mereka yang masa depannya buruk atau suram bisa menata diri
mereka lebih baik agar masa depan itu menjadi lebih indah?”
“Memang
benar,” tukasku sambil tersenyum. “Tapi kalau seperti itu, apa serunya hidup?
Bayangkan saja kalau kamu bisa pergi ke masa depan, lalu bertemu dengan
pasangan hidupmu, anak-anakmu, atau jika terjadi sesuatu yang buruk, bisa saja
kamu mendapati kenyataan bahwa di jaman itu kamu sudah mati dan hanya tinggal
nama. Bisa dipastikan hidupmu takkan berjalan seperti sekarang bukan?”
“Aku
tak berani membayangkannya.”
“Tujuan
utama diciptakannya mesin waktu adalah memperbaiki kesalahan,” lanjutku
antusias. “Tapi teknologi itu juga bisa kau gunakan untuk mengobati rindu,
untuk bertemu kembali dengan orang-orang yang pernah kau cintai namun tak
mungkin lagi kau temui. Mungkin bisa juga untuk meminta maaf pada orang yang
telah kau lukai namun belum sempat kau meminta maaf , dan masih banyak lagi
kegunaan lainnya. Yang jelas, mesin waktu hanya bisa berjalan mundur, bukan
maju ke masa depan.” Pungkasku panjang lebar.
“Dan
itu akan dijual bebas?” tanyanya.
“Sayang
sekali tidak,” aku menggeleng. “Mesin waktu cuma disediakan terbatas. Akan
tertulis di peraturan internasional, satu negara hanya boleh memiliki satu
mesin waktu. Untuk bisa memakainya orang harus membayar cukup mahal. Namun
bagiku itu wajar, bukankah kesempatan untuk memperbaiki kesalahan adalah hal
yang tak ternilai harganya?”
“Tapi
kalau aku hidup di jamanmu, aku tetap tak akan mau kembali ke masa lalu.
Rasanya aku tak akan butuh mesin waktu.”
“Bagiku
masa lalu hanya untuk dikenang, atau untuk dijadikan pelajaran.” Jawabnya.
“Masa depan yang jauh lebih penting. Kalau tadi kamu bilang hidup tak akan seru
saat kita bisa melihat masa depan, bagiku hidup tak akan bisa maju kalau kita
terus terpaku atau larut menyesali masa lalu yang menyedihkan.”
Kali
ini aku yang terdiam. Sebenarnya aku masih ingin membantahnya, dan meyakinkan
dia bahwa mesin waktu untuk kembali ke masa lalu adalah penemuan yang sangat
berguna. Namun waktuku mampir ke jaman ini hanya tersisa beberapa menit lagi.
Setelah ini aku sudah harus kembali ke jaman di mana aku tinggal. Jaman di mana
aku sudah menjadi seorang sutradara terkenal dan hidup bahagia bersama seorang
istri yang sangat kucintai, dan dikaruniai seorang anak laki-laki tampan yang
nakal bukan main, tapi mewarisi sifat teguh dan pantang menyerah dari ayahnya.
“Lalu?”
tanyanya. “Untuk apa kamu datang ke sini?”
“Tentu
saja untuk..”, aku menghela nafas sebentar. Pemilik sepasang mata bening itu
kembali tersenyum, dan aku semakin salah tingkah melihatnya. Jantungku mulai
berdegup lebih kencang, pikiranku mendadak kacau. Setengah mati aku berusaha
menyusun kalimat yang tepat untuk mengatakan tujuan sebenarnya aku datang ke
jaman ini.
“Kamu,”
ujarnya setengah berbisik. “Lelaki dari masa depan, untuk apa kamu datang ke
sini?”
“Untuk
meyakinkanmu,” jawabku cepat. “Ini memang baru pertama kalinya kita bertemu.
Tapi kamu harus percaya, kita akan bertemu lagi.”
“Kita..
akan bertemu.. lagi,” ucapku terbata. “Mungkin.. saat itu kamu tak akan
mengenaliku. Karena yang kamu lihat sekarang ini.. hanya tubuh pinjaman.”
Lanjutku. Sebisa mungkin aku berusaha agar kalimat absurd itu tidak terdengar
mengada-ada. “Kita.. akan bertemu lagi, di waktu dan tempat yang takkan pernah
kamu duga sebelumnya. Dan di masa depan nanti kamu akan menjadi…”
Kalimat
itu belum selesai kuucapkan, namun seberkas cahaya putih kebiruan sudah kembali
datang menerpaku. Earphone yang terpasang di telinga kiriku berbunyi
bip..bip..bip pelan, kemudian suara merdu seorang perempuan terdengar dari
sana.
“Maaf,
waktu anda telah habis. Terima kasih telah menggunakan jasa mesin waktu.”