"Apa yang kaulihat?" Tanyaku
"Itu.." Jawabnya sambil menunjukan jarinya pada seorang
gadis yang sedang berlutut.
Aku ikut memperhatikan gadis itu. Kuperhatikan baik-baik. Gadis
itu menangis.
"Dia menangis?" Tanyaku.
"Ya.." Zorra mengangguk pelan.
"Mengapa?" Aku bertanya lagi, kali ini Zorra tak
menjawab.
"Lalu, apa yang kita lakukan di sini?" Zorra masih tak
menjawab pertanyaanku, ia masih dengan tenang memperhatikan gadis itu.
"Sampai kapan kita akan bersembunyi di balik pohon seperti
ini? Lututku hampir kaku, aku lelah."
"Kau diamlah, jangan banyak mengeluh seperti wanita."
Zorra menarik lenganku, mengajakku berlutut dan bersembunyi di balik pohon pinus
besar. Aku menurutinya.
Seketika langit gelap, hujan turun begitu deras setelahnya. Gadis
itu masih dengan kesedihanya berlutut di tengah padang dandelion. Aku
mengingat, tak ada angin yang berhembus sebelumnya dan tak ada sehelaipun
kelopak dandelion yang terhempas. Lalu mengapa hujan tiba-tiba turun? Kucermati wajah
gadis itu, air matanya tak lagi terlihat, tersamar rembasan air hujan yang
tumpah di wajahnya. Kutatap langit, rupanya langit berkehendak, tak tega gadis
itu menangis seorang diri. Di kejauhan sepasang wanita dan pria datang
mendekat. Di bawah payung yang sama, mereka melangkah perlahan.
Rasanya seperti melihat pertunjukan
sebuah teater, kunikmati alur ceritanya. Tak ada suara, aku hanya melihat raut
wajah mereka dan membaca bahasa tubuhnya. Gadis itu masih tetap sama, berlutut
dengan kesedihannya meskipun sepasang wanita dan pria tadi telah berdiri tepat
di hadapannya. Entah apa yang membuatnya demikian, mungkin kesedihannya amat
berat membebani punggung gadis itu. Aku meremas dadaku. Ada yang aneh, aku
merasakan nyeri yang luar biasa di sini.
"Apa yang mereka
bicarakan?"
"Diam dan lihat saja."
Pria itu memberikan sebuah payung
pada gadis itu, sedang wanita yang satunya memayungi dirinya dan pria di
sebelahnya. Gadis itu masih diam, masih dengan air mata yang tersamar hujan.
Pria itu meringkuh, membuka payung yang hendak ia berikan dan memayungi gadis
itu. Air matanya ikut tumpah, pria itu menangis.
"Mengapa ia turut menangis,
Zorra?"
"Pria itu hendak meninggalkan
gadis itu." Suara Zorra terdengar parau, kualihkan pandanganku pada Zorra.
Sama sepertiku, Zorra pun tengah memegangi dadanya. Apa ia juga merasakan nyeri
sepertiku? Aneh sekali. Aku kembali memerhatikan gadis dan sepasang wanita dan
pria tadi. Pria itu menggenggam tangan gadis itu, kemudian mengarahkan tanganya
ke gagang payung yang ia buka tadi, gadis itu menurutinya. Gadis itu memegangi
payungnya dengan lemah, tanganya gemetaran. Kini air matanya kembali terlihat,
air hujan yang sejak tadi menyamarkan air matanya kini tertahan payung. Kulihat
mulutnya bergetar hebat, mungkin banyak kata yang tertahan di sana.
Benar saja, sepasang pria dan wanita
itu melangkah pergi meninggalkan gadis itu. Langkah pria itu terasa berat, aku
bisa merasakannya. Kini gadis itu kembali sendiri, di tengah hujan dan padang
dandelion yang kelopaknya habis tersapu hujan. Tubuhnya lemas, payungnya pun
terjatuh ke tanah. Air matanya kembali menyatu dengan hujan.
"Apa yang terjadi pada gadis
itu?"
"Entahlah, mungkin ia akan
hancur."
"Kenapa?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar