Sabtu, 17 November 2012

Hati

Tap tap tap... Suara langkah kaki semakin jelas terdengar. Kugandakan tenagaku untuk membereskan pecahan beling berwarna merah di tangan kiriku. Sesekali terasa beberapa pecahan beling menusuk permukaan kulit jari-jari tanganku. Aaah terlambat, ia sudah tepat di hadapanku sekarang.
 "Kau Sedang apa?" Tanyamu kemudian berlutut mencari wajahku yang tengah sibuk mengumpulkan pecahan beling.
"Bukan apa-apa." Jawabku tak menghiraukanmu. 
"Mari kubantu." 
"TIDAK PERLU!" Bentakku seketika. "Tidak Perlu. Kau pergilah." Aku mengulang ucapanku. Tapi kali ini jauh lebih lembut. 
"Apa yang terjadi?" Tanyamu yang masih berlutut memperhatikanku membereskan pecahan beling yang berserakan di lantai. 
Aku tak menghiraukanmu, aku masih sibuk dengan pekerjaanku. Perih sekali rasanya, entah apa yang terjadi ada perih yang luar biasa tapi entah di mana letaknya. Air mataku mengalir tanpa perintah, entah apa tujuannya. Tuhan, apa ada yang salah dengan sistem pada tubuhku? Mengapa tanggul air mataku jebol begitu saja? Aku malu, Tuhan. 
"Hei, kau kenapa?" Kau menarik wajahku yang basah diguyur air mata. Pandanganmu menikam wajahku, aku benci situasi seperti ini. Kubuang jauh-jauh wajahku dari tanganmu. Aku melanjutkan mengumpulkan pecahan beling di lantai. 
"Aaahhh...!!!" Satu pecahan beling menancap di ibu jariku, darah segar mengucur setelahnya. Brengsek sakit sekali. 
"HEY, SUDAHLAH," Bentakmu setelah melihat darah mengalir dari tubuhku. "Apa yang terjadi? Mengapa di sini begitu berantakan?" Kau menurunkan volume suaramu, kemudian menghisap luka di jariku. 
"Bukankah kau yang memecahkannya? Kau yang membuatnya berantakan?" Tatapanku sinis ke arahmu, masih dengan air mata yang mengalir dan membanjiri wajahku. Kuhempaskan tanganku dari genggamanmu, kemudian kembali mengumpulkan pecahan beling tadi. 
Kini semua pecahan beling berwarna merah itu sudah terkumpul di tangan kiriku, mungkin ada beberapa yang hilang, tapi tak apa. Kemudian dengan cepat-cepat aku menelan semua pecahan beling itu ke dalam mulutku, semua, tanpa sisa. 
"HEY APA YANG KAU LAKUKAN?" Matamu membidik tajam. Sepertinya kau terkejut melihat tingkahku. 
"Yang sudah pecah dan hancur berantakan ini, tetap harus kembali ke tempatnya.."




Diana Monica,

Jumat, 16 November 2012

Kamis, 15 November 2012

Tiga Tahun Kemudian



Suatu hari.
Sebuah cincin. Ukirannya demikian indah, maka kuputuskan memakainya. Entah mengapa, ukurannya teramat kecil, cincin itu hanya termuat di kelingkingku.
Tanpa sengaja, aku bertemu seorang sahabat. Kamu, seperti biasa, menyadari sesuatu.
“Tumben pakai cincin.”
“Iya, iseng. Dioleh-olehin teman.”
***
Tiga bulan berlalu.

Hari aneh. Printer rusak. Tugas kuliah tertinggal. Lupa jadwal praktikum.
Kesialan terakhir hari itu adalah ketika kusadari bahwa cincinku terlepas dan hilang. Sepanjang perjalanan pulang, aku bersungut kesal.
Di gerbang kampus, berpapasan denganmu.
Spontan semua cerita terlontar. Yang terakhir, “cincinku hilang.”
Kamu tersenyum, menyahut cepat, “Tiga tahun lagi, kuganti, ya. Tapi pakainya di jari manis.”
***
Tiga tahun kemudian. Kamu menepati janji. Namun bukan jari manisku. Aku menyaksikan pernikahanmu, sahabatku.



-Repost- Cubiculum Notatum by @emiralda

Rabu, 14 November 2012

Makanan Lezat



"Hari ini kau ingin makan apa, Nak?" tanya bapak dengan peluh yang bercucuran di dahinya. Siang ini matahari menyorot begitu tajam.

"Apa saja, Pak. Pizza seperti kemarin aku juga suka atau ayam bakar tempo hari juga enak." jawabku, sambil memikirkan rentetan makanan di benakku.

"Baiklah, tunggulah sebentar lagi." jawabnya, sambil meletakkan karung besar yang dipikulnya hasil seharian mengorek sampah kemudian menyandarkan tubuh kecilnya di atas karung berbau busuk itu.

30 menit setelah kami menunggu. Seorang wanita paruh baya dengan daster merah kembang keluar dari pintu gerbang nan megah itu dengan kantung plastik hitam besar di tangannya dan meletakanya di sisi jalan.

"Mari, Nak. Makanan kita datang. Kira-kira hari ini menu-nya apa?"



Diana Monica,

Senin, 12 November 2012

Sup Daging


"Makanlah, bu!" kusodorkan sepiring nasi aking tanpa lauk-pauk.
"Kau saja yang makan, nak!"

"Tidak, bu. Perutku sudah kenyang." kuremas perutku yang tak sampai segenggam, sudah hampir lima hari tak ada makanan yang mampir ke perutku.

Kuperhatikan wajah ibuku. Tulang wajahnya menyembul, kulitnya juga mulai mengendur. Tanganya yang hanya sebesar gagang sapu gemetar menyuap setiap sendok nasi aking ke mulutnya.

"Bahkan ibu hampir lupa rasanya sup daging." ucapnya di sela suapan nasi akingnya.

***
"Ibu, mari bangun! Aku memasak sesuatu yang lezat." kuguncangkan tubuh ibuku. 
"Wah, sup daging?" wajahnya berbinar. 
"Ya, bu. Makanlah yang banyak!" ujarku sambil menahan rasa nyeri yang luar biasa di balik balutan perban di paha kananku.


Diana Monica,

Kamis, 08 November 2012

Cermin



"Apa yang kaulihat?" Tanyaku

"Itu.." Jawabnya sambil menunjukan jarinya pada seorang gadis yang sedang berlutut.

Aku ikut memperhatikan gadis itu. Kuperhatikan baik-baik. Gadis itu menangis.

"Dia menangis?" Tanyaku.

"Ya.." Zorra mengangguk pelan.

"Mengapa?" Aku bertanya lagi, kali ini Zorra tak menjawab.

"Lalu, apa yang kita lakukan di sini?" Zorra masih tak menjawab pertanyaanku, ia masih dengan tenang memperhatikan gadis itu.

"Sampai kapan kita akan bersembunyi di balik pohon seperti ini? Lututku hampir kaku, aku lelah."

"Kau diamlah, jangan banyak mengeluh seperti wanita." Zorra menarik lenganku, mengajakku berlutut dan bersembunyi di balik pohon pinus besar. Aku menurutinya.

Seketika langit gelap, hujan turun begitu deras setelahnya. Gadis itu masih dengan kesedihanya berlutut di tengah padang dandelion. Aku mengingat, tak ada angin yang berhembus sebelumnya dan tak ada sehelaipun kelopak dandelion yang terhempas. Lalu mengapa hujan tiba-tiba turun? Kucermati wajah gadis itu, air matanya tak lagi terlihat, tersamar rembasan air hujan yang tumpah di wajahnya. Kutatap langit, rupanya langit berkehendak, tak tega gadis itu menangis seorang diri. Di kejauhan sepasang wanita dan pria datang mendekat. Di bawah payung yang sama, mereka melangkah perlahan.

Rasanya seperti melihat pertunjukan sebuah teater, kunikmati alur ceritanya. Tak ada suara, aku hanya melihat raut wajah mereka dan membaca bahasa tubuhnya. Gadis itu masih tetap sama, berlutut dengan kesedihannya meskipun sepasang wanita dan pria tadi telah berdiri tepat di hadapannya. Entah apa yang membuatnya demikian, mungkin kesedihannya amat berat membebani punggung gadis itu. Aku meremas dadaku. Ada yang aneh, aku merasakan nyeri yang luar biasa di sini.

"Apa yang mereka bicarakan?"

"Diam dan lihat saja."

Pria itu memberikan sebuah payung pada gadis itu, sedang wanita yang satunya memayungi dirinya dan pria di sebelahnya. Gadis itu masih diam, masih dengan air mata yang tersamar hujan. Pria itu meringkuh, membuka payung yang hendak ia berikan dan memayungi gadis itu. Air matanya ikut tumpah, pria itu menangis.

"Mengapa ia turut menangis, Zorra?"

"Pria itu hendak meninggalkan gadis itu." Suara Zorra terdengar parau, kualihkan pandanganku pada Zorra. Sama sepertiku, Zorra pun tengah memegangi dadanya. Apa ia juga merasakan nyeri sepertiku? Aneh sekali. Aku kembali memerhatikan gadis dan sepasang wanita dan pria tadi. Pria itu menggenggam tangan gadis itu, kemudian mengarahkan tanganya ke gagang payung yang ia buka tadi, gadis itu menurutinya. Gadis itu memegangi payungnya dengan lemah, tanganya gemetaran. Kini air matanya kembali terlihat, air hujan yang sejak tadi menyamarkan air matanya kini tertahan payung. Kulihat mulutnya bergetar hebat, mungkin banyak kata yang tertahan di sana.

Benar saja, sepasang pria dan wanita itu melangkah pergi meninggalkan gadis itu. Langkah pria itu terasa berat, aku bisa merasakannya. Kini gadis itu kembali sendiri, di tengah hujan dan padang dandelion yang kelopaknya habis tersapu hujan. Tubuhnya lemas, payungnya pun terjatuh ke tanah. Air matanya kembali menyatu dengan hujan.

"Apa yang terjadi pada gadis itu?"

"Entahlah, mungkin ia akan hancur."

"Kenapa?"
"Pria itu membawa sebagian hatinya," Zorra melangkahkan kakinya dan meninggalkan tempat ini "Kalau pun ia bertahan hidup ia akan sekarat seumur hidup." Lanjutnya.
"Lantas mengapa pria itu meninggalkannya?" Tanyaku kemudian mengikuti langkahnya pergi.

"Entahlah, pria itu menyebutnya pilihan."

"Pilihan untuk apa?" Tanyaku terus menerus, Zorra pun tak kelihatan keberatan menjawab semua pertanyaanku.

"Entahlah, menurutmu?"

"Ah.. Aku mana tau, aku tak mengenal mereka," Jawabku sambil menggaruk-garuk merah di tanganku, sepertinya banyak semut merah di pohon tadi.

"Memang mereka tadi siapa? Kau mengenalnya?

Zorra tersenyum, lesung pipinya samar terlihat. "Pria itu namanya Sakka." Jawabnya

"Sakka? Seperti namaku. Lantas wanita yang bersamanya? Siapa namanya?" Tanyaku lagi.

"Entahlah, aku tak mengenalnya." Jawabnya ringan kemudian Zorra memetik setangkai ranting muda di tepi jalan yang kami lewati. Sambil berjalan ia mengayun-ayunkan tangkainya.

"Lalu, siapa nama gadis malang itu?"

"Namanya Zorra."  



***



Diana Monica,

Selasa, 06 November 2012

Repost - Lelaki Dari Masa Depan




“Kelak di masa depan akan ada penemuan luar biasa,” ucapku pada perempuan berparas cantik yang duduk lesehan di sampingku itu. Lalu lintas depan Circle K Kemang Raya masih ramai, kendaraan berlalu lalang dari dua arah, macet dan semrawut.  Motor, mobil pribadi, Kopaja, hingga bajaj yang knalpotnya mengepulkan asap. Beberapa pejalan kaki di atas trotoar tampak gelisah dan terburu-buru. Samar-samar tercium wangi sate Padang yang dibakar di atas tungku, dan aroma nasi goreng dari gerobak yang mangkal tak jauh dari situ. Perempuan di sampingku tersenyum, kemudian membuka kaleng minuman dingin di tangannya. “Namanya mesin waktu,” lanjutku tanpa mengalihkan pandangan dari kedua mata beningnya. “Dengan itu kamu bisa melakukan sesuatu yang selama ini hanya menjadi khayalan bagi banyak orang.”
“Melihat masa depan?” tanyanya.
“Bukan,” aku menggeleng. “Mesin waktu tak diciptakan untuk itu. Bahkan di masa depan nanti, orang-orang pintar, – para ilmuwan jenius itu tetap akan membiarkan masa depan menjadi misteri. Agar hidup tetap berjalan seru dengan segala misterinya. Agar manusia tak bertindak semaunya setelah melihat masa depan mereka yang indah, juga agar mereka yang bermasa depan buruk tidak dihantui ketakutan yang sia-sia.”
“Bukankah dengan melihatnya, mereka yang masa depannya buruk atau suram bisa menata diri mereka lebih baik agar masa depan itu menjadi lebih indah?”
“Memang benar,” tukasku sambil tersenyum. “Tapi kalau seperti itu, apa serunya hidup? Bayangkan saja kalau kamu bisa pergi ke masa depan, lalu bertemu dengan pasangan hidupmu, anak-anakmu, atau jika terjadi sesuatu yang buruk, bisa saja kamu mendapati kenyataan bahwa di jaman itu kamu sudah mati dan hanya tinggal nama. Bisa dipastikan hidupmu takkan berjalan seperti sekarang bukan?”
“Aku tak berani membayangkannya.”
“Tujuan utama diciptakannya mesin waktu adalah memperbaiki kesalahan,” lanjutku antusias. “Tapi teknologi itu juga bisa kau gunakan untuk mengobati rindu, untuk bertemu kembali dengan orang-orang yang pernah kau cintai namun tak mungkin lagi kau temui. Mungkin bisa juga untuk meminta maaf pada orang yang telah kau lukai namun belum sempat kau meminta maaf , dan masih banyak lagi kegunaan lainnya. Yang jelas, mesin waktu hanya bisa berjalan mundur, bukan maju ke masa depan.” Pungkasku panjang lebar.
“Dan itu akan dijual bebas?” tanyanya.
“Sayang sekali tidak,” aku menggeleng. “Mesin waktu cuma disediakan terbatas. Akan tertulis di peraturan internasional, satu negara hanya boleh memiliki satu mesin waktu. Untuk bisa memakainya orang harus membayar cukup mahal. Namun bagiku itu wajar, bukankah kesempatan untuk memperbaiki kesalahan adalah hal yang tak ternilai harganya?”
“Tapi kalau aku hidup di jamanmu, aku tetap tak akan mau kembali ke masa lalu. Rasanya aku tak akan butuh mesin waktu.”
“Kenapa?”
“Bagiku masa lalu hanya untuk dikenang, atau untuk dijadikan pelajaran.” Jawabnya. “Masa depan yang jauh lebih penting. Kalau tadi kamu bilang hidup tak akan seru saat kita bisa melihat masa depan, bagiku hidup tak akan bisa maju kalau kita terus terpaku atau larut menyesali masa lalu yang menyedihkan.”
Kali ini aku yang terdiam. Sebenarnya aku masih ingin membantahnya, dan meyakinkan dia bahwa mesin waktu untuk kembali ke masa lalu adalah penemuan yang sangat berguna. Namun waktuku mampir ke jaman ini hanya tersisa beberapa menit lagi. Setelah ini aku sudah harus kembali ke jaman di mana aku tinggal. Jaman di mana aku sudah menjadi seorang sutradara terkenal dan hidup bahagia bersama seorang istri yang sangat kucintai, dan dikaruniai seorang anak laki-laki tampan yang nakal bukan main, tapi mewarisi sifat teguh dan pantang menyerah dari ayahnya.
“Lalu?” tanyanya. “Untuk apa kamu datang ke sini?”
“Tentu saja untuk..”, aku menghela nafas sebentar. Pemilik sepasang mata bening itu kembali tersenyum, dan aku semakin salah tingkah melihatnya. Jantungku mulai berdegup lebih kencang, pikiranku mendadak kacau. Setengah mati aku berusaha menyusun kalimat yang tepat untuk mengatakan tujuan sebenarnya aku datang ke jaman ini.
“Kamu,” ujarnya setengah berbisik. “Lelaki dari masa depan, untuk apa kamu datang ke sini?”
“Untuk meyakinkanmu,” jawabku cepat. “Ini memang baru pertama kalinya kita bertemu. Tapi kamu harus percaya, kita akan bertemu lagi.”
“Aku masih belum paham.”
“Kita..  akan bertemu.. lagi,” ucapku terbata. “Mungkin.. saat itu kamu tak akan mengenaliku. Karena yang kamu lihat sekarang ini.. hanya tubuh pinjaman.” Lanjutku. Sebisa mungkin aku berusaha agar kalimat absurd itu tidak terdengar mengada-ada. “Kita.. akan bertemu lagi, di waktu dan tempat yang takkan pernah kamu duga sebelumnya. Dan di masa depan nanti kamu akan menjadi…”
Kalimat itu belum selesai kuucapkan, namun seberkas cahaya putih kebiruan sudah kembali datang menerpaku. Earphone yang terpasang di telinga kiriku berbunyi bip..bip..bip pelan, kemudian suara merdu seorang perempuan terdengar dari sana.
“Maaf, waktu anda telah habis. Terima kasih telah menggunakan jasa mesin waktu.”
***


- Faizal Reza -


Kamis, 01 November 2012

Merejam


Aku tak sedang membengisi hati seorang perkasa tidak juga memeram kesenanganya. Meski memadankan fakta yang tersirat. Tapi itu bagi mereka seorang awam belaka, tidak bagiku sang penguasa hati. Mereka tidak mengerti. Tidak juga dirimu. Lantas aku tersenyum. Aku tidak menangis 
Semua kupendam di sini. Sendiri. Maka akulah yang membengisi aku. Menyengapkan kegetiran setiap tetes nila yang jatuh di lidahku sedikit demi sedikit hingga melebar dan meluap. Aku terjerembab pada lubang yang aku gali sendiri. Tapi mereka tidak mengerti. Tidak juga dirimu. Lantas aku menyeringai. Aku tidak menangis 
Aku menyerah. Aku terluka. Terluka lantaran menyerah. Bukan terluka lantas menyerah. Aku merangkul semuanya. Semuanya, bahkan yang tak sanggup untuk  aku rangkul. Tapi mereka tidak mengerti. Tidak juga dirimu. Lantas aku meringis. Aku tidak menangis 
Aku yg membuat mereka dan dirimu tidak mengerti, aku yang membuat konstitusi tunggal. Dan aku sendiri yang tak mampu mematuhinya. Kamu hanya mengerti apa yang aku batasi. Aku meng-iya-kan adanya tabir di antara kita dan kalian . Aku terluka. Hanya aku yg tahu. Tapi mereka tidak mengerti. Tidak juga dirimu. Lantas aku sekarat. Dan aku tetap tidak menangis 



Diana Minica,

Maka aku adalah,


Aku berbisik pada angin tentang ketidaksanggupanku dalam mencintainya. Bukan karena tak pantas bukan juga kurang indah. Hanyalah kesempurnaannya yang begitu membuat keberadaan perasaan ini tak lagi perlu. Maka aku adalah cahaya lilin di tengah gemerlap kota. 
Kemudian aku berbisik pada ujung daun-daun yang bergesekan terhilir angin. Betapa mencintainya adalah nafas bagi paru-paruku. Setiap detiknya adalah kebutuhan. Dan ketika mencintainya tak lagi aku sanggupi, mutlak biru sekujur tubuhku karna tak lagi mencintainya barang semenit saja. Maka aku adalah tonggak panjang di tengah badai halilintar. 
Hay angin, bisikan di telinganya, mencintainya adalah kebutuhan  di setiap detikku. Hay daun, bisikan di telinga yang satunya kesempurnaanya begitu benderang menyeliaukan segalanya apalagi seorang kecil seperti aku. Aku tak mampu bukan tak mau. Maka aku adalah jantung yang berhenti bedetak. 



Diana Monica,