Surabaya,
Mei 2010
“Matahari!
Besok kita ketemu loh! I just can’t hardly wait to see you. Kamu seneng ga mau
ketemu aku?”
Diandra,
kekasihku sejak 2 tahun terakhir itu memang senang menyapaku dengan sebutan
‘matahari’, sesuai dengan arti nama Aditya dalam bahasa jawa.
“Iya
sayang, aku juga seneng dong. Masa ga seneng mau ketemu pacar aku. Sekarang
kamu tidur gih. Besok kan berangkatnya pagi-pagi banget. Yayaya?”
“Ok,
baby. See you tomorrow. :-*”
“See
you tomorrow, love. :-*”
Surabaya,
September 2010
Malam
ini aku tidak ingin melakukan apapun, aku hanya ingin beristirahat, tekadku.
Jika sudah seharian melakukan banyak hal di luar, kasur tipis yang kadang membuat
badanku sakit ini bisa jadi terasa begitu nyaman. Pandanganku mengarah ke
langit-langit kamar, tak ada yang kulihat di sana. Hanya plafon berwarna putih,
kosong. Tapi justru dari kekosongan di sana malah aku mendapati
cuplikan-cuplikan adegan sore itu.
Sore
itu, Diandra datang ke kotaku. Mungkin dengan sejuta bahagia, dengan sejuta
kupu-kupu menari di sekitar hatinya yang berbunga-bunga, juga dengan setumpuk
catatan hutang temu kami yang menggunung dan menunggu untuk dilunasi.
Sore
itu semestinya menyenangkan karena itu adalah kali pertamanya kami bertemu terhitung
sejak 5 bulan sebelumnya. Tapi justru sore itu tangisannya menggema. Memenuhi seluruh
sudut kamarku yang luasnya tidak seberapa ini.
Sore
itu, dia melepas lelah dalam pelukku setelah berbelas jam perjalan dari kotanya
menuju ke sini. Aku ingat, sore itu perasaan perasaan magis yang seakan
mempengaruhi metabolisme tubuhku setiap kulit kami bersentuhan masih ada. Aku
masih ingat.
Sore
itu, bau rambutnya yang khas memenuhi hidungku ketika aku mendekapnya yang
sedang tertidur.
Aku
sibuk memperhatikan wajahnya. Keberadaan dia di hadapanku ketika itu membuatku
berpikir jauh. Tentang dia dan semua hal yang dia lakukan untukku. Dia amat
menyayangiku. Begitu yang sering dia ucap. Ya, aku percaya. Aku merasakannya.
Aku mengingat banyak hal yang kami tertawai bersama, banyak masalah yang kami
tangisi berdua, dan semua yang membuat kami saling jatuh cinta. Cemburunya,
khawatirnya, manjanya, keras kepalanya, semua sifat menyebalkanya. Kadang aku
terusik dengan sifat-sifat itu, tapi entah. Aku tak pernah ada niatan
meninggalkannya.
Aku
menatap setiap detil wajahnya dalam-dalam. Seketika itu hatiku dikerubungi rasa
bersalah. Rasa bersalah yang begitu besar.
“Halo,
cantik. Kok bangun? Ge-er ya aku liatin?” Candaku begitu melihatnya membuka
mata.
Diandra
mengernyitkan dahinya, berusaha membuka mata, lalu ngulet ke sana-sini, membuat
badannya terlepas dari dekapanku. Aku tertawa kecil seraya menghampirinya yang
telah berbalik memunggungiku. Sudah lama sekali rasanya tidak melihatnya
melakukan kegiatan seperti itu ketika bangun tidur.
“Hey,
merem lagi aku kelitikin nih ya..” aku mencium pipinya. Diandra suka sekali
mendapat ciuman dariku. Bahkan ketika kami berjauhan, setiap dia bangun dari
tidur di pagi hari dan mendapati aku tidak menciumnya dalam pesan yang
kukirimkan, dia pasti memintanya, “where’s my morning kiss?” haha, lucu memang.
Padahal ciumannya hanya emoticon.
***
Dua
jam, tiga jam, empat jam pertama di hari pertama kami bertemu berlangsung
dengan menyenangkan. Mengamatinya tertidur dan bangun dalam pelukanku. Mencium
bau khas tubuhnya. Hingga satu kalimat terlontar dari mulutku.
“Di,
Nadia kan udah punya pacar.”
Seketika
itu raut wajahnya berubah.
Harusnya aku gak perlu
ngomongin ini ke dia.
Gumam penyesalanku dalam hati.
Terlambat.
Aku melihat wajah yang semula ceria itu berusaha sekuat tenaga agar tetap
terlihat ceria menanggapi kalimat bodohku.
***
“ARRRRGGGGGHHHHHHH!”
“Kenapa
kamu lakuin itu sama dia?”
“Kenapa
kamu tega kayak gitu ke aku?”
“Aku
salah apa sama kamu sampe kamu giniin aku?”
Pertanyaan-pertanyaan
itu, berulang-ulang kali terucap lantang dari mulutnya. Air mata dan keringat
bercampur membasahi wajahnya. Dia terus saja menangis. Mengulang-ulang
pertanyaan yang sama. Matanya yang lelah mulai memerah.
Aku
tak sanggup melakukan apa-apa.
Berkali-kali
dia menghempaskan tubuhku yang mencoba memeluknya. Memukul-mukul dadaku. Masih
menangis histeris. Dan terus menanyakan hal yang sama.
“Aku
salah apa sama kamu, Dit?” Suaranya kali ini terdengar lirih. Sangat lirih.
“Kenapa
kamu tega sama aku?”
Pukulannya
melemah, aku memeluknya.
“Kenapa kamu lakuin itu sama dia?”
Aku masih diam. Belum mampu menjawab
apapun.
“Kenapa kamu tega, Dit?”
Suaranya, tangisannya, tubuhnya, semua melemah.
Aku mengeratkan pelukanku.
“Aku salah apa sama kamu?” Diandra
masih terus menanyakan hal itu di sela-sela isak tangisnya.
“Nggak, Di. Kamu gak salah apa-apa. Aku
yang salah. Maafin aku.”
Aku kembali mengeratkan pelukanku. Membelai
rambutnya. Sekuat tenaga menenangkannya.
***
“Hati-hati, Di.” Ujarku ketika
mengantarkannya ke Bandara. Setelah kejadian itu, Diandra memutuskan untuk
segera pulang keesokan paginya.
Matanya berkaca-kaca. Tapi tidak ada
setitikpun air yang jatuh dari sana. Tidak
ada pelukan perpisahan. Tidak ada kecupan-kecupan. Tidak ada kalimat “cepet
ketemu lagi ya, kita,” yang biasa terucap di ujung pertemuan. Dia hanya tersenyum simpul, lalu berjalan
memunggungiku tanpa sekalipun menoleh lagi. Tidak seperti sebelum-sebelumnya
nya yang bahkan ia berjalan mundur agar kami dapat terus bertatapan hingga
bayangan masing-masing kami hilang dari pandangan.
***
Tuhan, apa yang kulakukan padanya?
Empat bulan. Dan kini sesak di dadaku
semakin terasa menjepit paru-paru tiap kali mengingatnya. Mengingat betapa
keserakahanku telah menghancurkan perasaan perempuan yang sangat mencintaiku. Bahkan
mungkin jauh lebih hancur dari yang terlihat.
Aku mendangakkan kepalaku. Mencoba
menahan air mata yang berjejalan di pelupuk mataku agar tidak membuncah keluar
ketika kembali teringat dengan peristiwa sore itu, dan semua kebodohan yang
membuatku kehilangannya.
“Maafin aku, Di.”
Semoga angin menyampaikan bisikan
maafku ke telinga Diandra. Amin.
***
Jakarta, Agustus 2011
“Come
up to meet you, tell you I’m sorry
you
don’t know how lovely you are
I
had to find you, tell you I need you
tell
you I set you apart”
Penggalan lirik lagu The Scientist
milik Coldplay terdengar begitu memilukan sejak aku dihantui perasaan bersalah
terhadap Diandra.
Panas, polusi, macet, macet di Jakarta
ini sama rupanya dengan di kotaku, Surabaya.
Diandra.
Sudah hampir sebulan sejak kepindahanku
ke sini, ke kota yang sama dengannya. Tapi aku belum memiliki keberanian untuk
menemuinya. Meski hatiku begitu ingin. Aku ingin menemuinya, memberi maaf yang
mungkin tak akan ia terima karena aku pernah begitu menghancurkan hatinya. Aku
ingin melihat wajah yang kuhafal betul bentuknya. Aku ingin merasakan magis
yang dulu selalu kurasakan tiap dia ada di dekatku.
Aku lupa kapan terakhir kali berbincang
dengannya. Berbagi cerita. Chatting
hingga larut malam saking asyiknya. Hhhhhh. Hari-hariku tak lagi sempurna. Aku
begitu kehilangan sosoknya.
“Nobody
said it was easy
it
such a shame for us to part
no
body said it was easy
no
one ever said it would be this hard
oh
take me back to the start..”
Ah, sudahlah. Kebahagiaan bersama
Diandra dulu memang tak pantas untuk seorang pengkhianat sepertiku.
***
Di,
kamu apa kabarnya?
SMS-ku yang ke-sekian kalinya untuk
Diandra, masih tanpa balasan.
Telepon, bahkan Email pun tak pernah
dijawabnya. Permintaan maaf, tanya kabar, basa-basi, ungkapan rindu,
kehilangan, semua tak membuahkan hasil.
Bahkan aku pernah mengirimi surat ke
rumahnya. Aku masih ingat betul bagaimana isinya. Begini:
Halo,
‘Perempuan Berkeinginan Kuat’
Maaf,
Di. Entah aku harus bilang apa lagi ke kamu.
Aku
ngerti kenapa sikap kamu begini. Tuhan juga pasti marah karena aku udah
nyakitin kamu, dan Dia menghukum aku dengan cara ini; dengan menyadarkan aku
betapa besarnya kebahagiaan dan cinta yang dulu kita punya, setelah aku
menyia-nyiakan semua itu dengan bodohnya dan menemukan diriku ternyata
menghampa karena kehilangan kamu.
Semoga
kamu bahagia dengan cintamu sekarang, Diandra Putri.
Matahari-mu,
dulu.
Pun seperti yang lainnya. Suratku juga
tak berbalas.
***
Aku tau Diandra begitu menyayangiku.
Tapi rupanya pengkhianatanku menciptakan rasa sakit yang jauh lebih besar
untuknya. Mengalahkan segala cinta.
Sekian lamanya aku mencoba untuk
memafkankan diriku sendiri. Berusaha lari dari ingatan tentang kesalahan
terbesar yang pernah kulakukan pada Diandra, lari sekuat tenaga hanya untuk
menemukan kenyataan bahwa ternyata hatiku tidak beranjak ke mana-mana. Hanya di
sini. Tetap di sini. Masih sama seperti terakhir kali dia tidur dalam
dekapanku, hingga akhirnya pergi.
“tell
me you love me, come back and haunt me
Oh
and I rush to the start
Running
in circles, chasing our tails
Coming
back as we are..”
#CERBUNG1
by - @fitriandiani