Selasa, 18 September 2012

#cerbung1 oleh @fitriandiani


Surabaya, Mei 2010

“Matahari! Besok kita ketemu loh! I just can’t hardly wait to see you. Kamu seneng ga mau ketemu aku?”
Diandra, kekasihku sejak 2 tahun terakhir itu memang senang menyapaku dengan sebutan ‘matahari’, sesuai dengan arti nama Aditya dalam bahasa jawa.
“Iya sayang, aku juga seneng dong. Masa ga seneng mau ketemu pacar aku. Sekarang kamu tidur gih. Besok kan berangkatnya pagi-pagi banget. Yayaya?”
“Ok, baby. See you tomorrow. :-*”
“See you tomorrow, love. :-*”


Surabaya, September 2010

Malam ini aku tidak ingin melakukan apapun, aku hanya ingin beristirahat, tekadku. Jika sudah seharian melakukan banyak hal di luar, kasur tipis yang kadang membuat badanku sakit ini bisa jadi terasa begitu nyaman. Pandanganku mengarah ke langit-langit kamar, tak ada yang kulihat di sana. Hanya plafon berwarna putih, kosong. Tapi justru dari kekosongan di sana malah aku mendapati cuplikan-cuplikan adegan sore itu.
Sore itu, Diandra datang ke kotaku. Mungkin dengan sejuta bahagia, dengan sejuta kupu-kupu menari di sekitar hatinya yang berbunga-bunga, juga dengan setumpuk catatan hutang temu kami yang menggunung dan menunggu untuk dilunasi.
Sore itu semestinya menyenangkan karena itu adalah kali pertamanya kami bertemu terhitung sejak 5 bulan sebelumnya. Tapi justru sore itu tangisannya menggema. Memenuhi seluruh sudut kamarku yang luasnya tidak seberapa ini.
Sore itu, dia melepas lelah dalam pelukku setelah berbelas jam perjalan dari kotanya menuju ke sini. Aku ingat, sore itu perasaan perasaan magis yang seakan mempengaruhi metabolisme tubuhku setiap kulit kami bersentuhan masih ada. Aku masih ingat.
Sore itu, bau rambutnya yang khas memenuhi hidungku ketika aku mendekapnya yang sedang tertidur.
Aku sibuk memperhatikan wajahnya. Keberadaan dia di hadapanku ketika itu membuatku berpikir jauh. Tentang dia dan semua hal yang dia lakukan untukku. Dia amat menyayangiku. Begitu yang sering dia ucap. Ya, aku percaya. Aku merasakannya. Aku mengingat banyak hal yang kami tertawai bersama, banyak masalah yang kami tangisi berdua, dan semua yang membuat kami saling jatuh cinta. Cemburunya, khawatirnya, manjanya, keras kepalanya, semua sifat menyebalkanya. Kadang aku terusik dengan sifat-sifat itu, tapi entah. Aku tak pernah ada niatan meninggalkannya.
Aku menatap setiap detil wajahnya dalam-dalam. Seketika itu hatiku dikerubungi rasa bersalah. Rasa bersalah yang begitu besar.
“Halo, cantik. Kok bangun? Ge-er ya aku liatin?” Candaku begitu melihatnya membuka mata.
Diandra mengernyitkan dahinya, berusaha membuka mata, lalu ngulet ke sana-sini, membuat badannya terlepas dari dekapanku. Aku tertawa kecil seraya menghampirinya yang telah berbalik memunggungiku. Sudah lama sekali rasanya tidak melihatnya melakukan kegiatan seperti itu ketika bangun tidur.
“Hey, merem lagi aku kelitikin nih ya..” aku mencium pipinya. Diandra suka sekali mendapat ciuman dariku. Bahkan ketika kami berjauhan, setiap dia bangun dari tidur di pagi hari dan mendapati aku tidak menciumnya dalam pesan yang kukirimkan, dia pasti memintanya, “where’s my morning kiss?” haha, lucu memang. Padahal ciumannya hanya emoticon.

***
Dua jam, tiga jam, empat jam pertama di hari pertama kami bertemu berlangsung dengan menyenangkan. Mengamatinya tertidur dan bangun dalam pelukanku. Mencium bau khas tubuhnya. Hingga satu kalimat terlontar dari mulutku.
“Di, Nadia kan udah punya pacar.”
Seketika itu raut wajahnya berubah.
Harusnya aku gak perlu ngomongin ini ke dia. Gumam penyesalanku dalam hati.
Terlambat. Aku melihat wajah yang semula ceria itu berusaha sekuat tenaga agar tetap terlihat ceria menanggapi kalimat bodohku.

***
“ARRRRGGGGGHHHHHHH!”
“Kenapa kamu lakuin itu sama dia?”
“Kenapa kamu tega kayak gitu ke aku?”
“Aku salah apa sama kamu sampe kamu giniin aku?”
Pertanyaan-pertanyaan itu, berulang-ulang kali terucap lantang dari mulutnya. Air mata dan keringat bercampur membasahi wajahnya. Dia terus saja menangis. Mengulang-ulang pertanyaan yang sama. Matanya yang lelah mulai memerah.
Aku tak sanggup melakukan apa-apa.
Berkali-kali dia menghempaskan tubuhku yang mencoba memeluknya. Memukul-mukul dadaku. Masih menangis histeris. Dan terus menanyakan hal yang sama.
“Aku salah apa sama kamu, Dit?” Suaranya kali ini terdengar lirih. Sangat lirih.
“Kenapa kamu tega sama aku?”
Pukulannya melemah, aku memeluknya.
“Kenapa kamu lakuin itu sama dia?”
Aku masih diam. Belum mampu menjawab apapun.
“Kenapa kamu tega, Dit?”
Suaranya, tangisannya, tubuhnya, semua melemah. Aku mengeratkan pelukanku.
“Aku salah apa sama kamu?” Diandra masih terus menanyakan hal itu di sela-sela isak tangisnya.
“Nggak, Di. Kamu gak salah apa-apa. Aku yang salah. Maafin aku.”
Aku kembali mengeratkan pelukanku. Membelai rambutnya. Sekuat tenaga menenangkannya.

***
“Hati-hati, Di.” Ujarku ketika mengantarkannya ke Bandara. Setelah kejadian itu, Diandra memutuskan untuk segera pulang keesokan paginya.
Matanya berkaca-kaca. Tapi tidak ada setitikpun air yang jatuh dari sana.  Tidak ada pelukan perpisahan. Tidak ada kecupan-kecupan. Tidak ada kalimat “cepet ketemu lagi ya, kita,” yang biasa terucap di ujung pertemuan.  Dia hanya tersenyum simpul, lalu berjalan memunggungiku tanpa sekalipun menoleh lagi. Tidak seperti sebelum-sebelumnya nya yang bahkan ia berjalan mundur agar kami dapat terus bertatapan hingga bayangan masing-masing kami hilang dari pandangan.

***
Tuhan, apa yang kulakukan padanya?
Empat bulan. Dan kini sesak di dadaku semakin terasa menjepit paru-paru tiap kali mengingatnya. Mengingat betapa keserakahanku telah menghancurkan perasaan perempuan yang sangat mencintaiku. Bahkan mungkin jauh lebih hancur dari yang terlihat.
Aku mendangakkan kepalaku. Mencoba menahan air mata yang berjejalan di pelupuk mataku agar tidak membuncah keluar ketika kembali teringat dengan peristiwa sore itu, dan semua kebodohan yang membuatku kehilangannya.
“Maafin aku, Di.”
Semoga angin menyampaikan bisikan maafku ke telinga Diandra. Amin.

***
Jakarta, Agustus 2011

“Come up to meet you, tell you I’m sorry
you don’t know how lovely you are
I had to find you, tell you I need you
tell you I set you apart”

Penggalan lirik lagu The Scientist milik Coldplay terdengar begitu memilukan sejak aku dihantui perasaan bersalah terhadap Diandra.
Panas, polusi, macet, macet di Jakarta ini sama rupanya dengan di kotaku, Surabaya.
Diandra.
Sudah hampir sebulan sejak kepindahanku ke sini, ke kota yang sama dengannya. Tapi aku belum memiliki keberanian untuk menemuinya. Meski hatiku begitu ingin. Aku ingin menemuinya, memberi maaf yang mungkin tak akan ia terima karena aku pernah begitu menghancurkan hatinya. Aku ingin melihat wajah yang kuhafal betul bentuknya. Aku ingin merasakan magis yang dulu selalu kurasakan tiap dia ada di dekatku.
Aku lupa kapan terakhir kali berbincang dengannya. Berbagi cerita. Chatting hingga larut malam saking asyiknya. Hhhhhh. Hari-hariku tak lagi sempurna. Aku begitu kehilangan sosoknya.

“Nobody said it was easy
it such a shame for us to part
no body said it was easy
no one ever said it would be this hard
oh take me back to the start..”

Ah, sudahlah. Kebahagiaan bersama Diandra dulu memang tak pantas untuk seorang pengkhianat sepertiku.

***
Di, kamu apa kabarnya?

SMS-ku yang ke-sekian kalinya untuk Diandra, masih tanpa balasan.
Telepon, bahkan Email pun tak pernah dijawabnya. Permintaan maaf, tanya kabar, basa-basi, ungkapan rindu, kehilangan, semua tak membuahkan hasil.
Bahkan aku pernah mengirimi surat ke rumahnya. Aku masih ingat betul bagaimana isinya. Begini:

Halo, ‘Perempuan Berkeinginan Kuat’
Maaf, Di. Entah aku harus bilang apa lagi ke kamu.
Aku ngerti kenapa sikap kamu begini. Tuhan juga pasti marah karena aku udah nyakitin kamu, dan Dia menghukum aku dengan cara ini; dengan menyadarkan aku betapa besarnya kebahagiaan dan cinta yang dulu kita punya, setelah aku menyia-nyiakan semua itu dengan bodohnya dan menemukan diriku ternyata menghampa karena kehilangan kamu.
Semoga kamu bahagia dengan cintamu sekarang, Diandra Putri.


Matahari-mu, dulu.

Pun seperti yang lainnya. Suratku juga tak berbalas.

***
Aku tau Diandra begitu menyayangiku. Tapi rupanya pengkhianatanku menciptakan rasa sakit yang jauh lebih besar untuknya. Mengalahkan segala cinta.
Sekian lamanya aku mencoba untuk memafkankan diriku sendiri. Berusaha lari dari ingatan tentang kesalahan terbesar yang pernah kulakukan pada Diandra, lari sekuat tenaga hanya untuk menemukan kenyataan bahwa ternyata hatiku tidak beranjak ke mana-mana. Hanya di sini. Tetap di sini. Masih sama seperti terakhir kali dia tidur dalam dekapanku, hingga akhirnya pergi.

“tell me you love me, come back and haunt me
Oh and I rush to the start
Running in circles, chasing our tails
Coming back as we are..”





#CERBUNG1
by - @fitriandiani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar