Selasa, 18 September 2012

#cerbung2 oleh @momonicaaw




               "Maafin aku, Di"

Entah sudah berapa ribu aku dihujani pesan macam itu darinya. Sejak pertemuan kami yg terakhir, aku tak lagi mengizinkanya masuk kedalam hidupku. Entahlah aku harus menyebutnya apa lagi, luka yang dia tinggalkan sepertinya terlalu dalam meski sudah ditutupi ribuan maaf darinya. Hati ku masih penuh dengan lubang yg menua.

Kerap kali aku mencoba berdamai dengan hatiku, ikhlas dengan jalan yang Tuhan kehendaki. Aah, tapi sulit sekali rasanya. Peristiwa sore itu terekam sempurna di memoriku, pertanyaan itu kembali menohokku. "Kenapa kamu tega, Dit?"

Its really over
You made your stand
You got me crying
As well as you planned
But when my loneliness is through
I'm gonna find another you

15 bulan sudah aku lalui. 15 bulan aku menata kembali hatiku. Menjalani hari dengan kebiasaan baru. Tidak ada lagi morning kiss tiap kali aku membuka mata, tidak ada lagi obrolan ringan walau hanya sebatas text, tidak ada lagi suara dengkuranmu yang tertidur saat aku merengek memintamu menelfonku hingga larut malam. Tidak ada lagi kamu. Matahariku.

Berapa ratus hari aku lalui tanpa pagi?  Menunggu mentari  yang tak kunjung datang. Semua terasa seperti malam yang tak berkesudahan. Bertahan hidup tanpa matahari, aku layu dan menunggu gugur itu datang.

Sering kali aku merengek pada hati, bertanya pada angin yang tiap malam memelukku dalam kesunyian. Apakah kau merindukan kita? Apakah kau merindukan tiap detik kebiasaan yg kita lalui dalam jarak? Apakah kaujuga kehilangan pagi di setiap harimu? Apakah kauturut hancur setelah menghempaskan hatiku sedemikian kencang? Apakah kautetap bersinar, setelah ketiadaanku dalam nafasmu?

***

Apakah kau sekarang bahagia denganya , Dit? Pertanyaan ini kerap kali berkecamuk, saat hati yang menolak keras pada rindu yang telah terbiasa berkunjung datang dan pergi. Kubiarkan pertanyaan itu tak terjawab hingga detik ini, entah harus sehancur apa lagi hati ini jika harus mendengar kabar baik mereka berbahagia di luar sana. Aku bersumpah aku tak akan rela.

Nadia... Namanya, mampu membuat peredaran darahku berpacu seratus kali lebih cepat dari biasanya. Perempuan laknat ini, entah seberapa besar aku membencinya. Tuhan boleh marah padaku, karna telah mengutuk ciptaan-Nya sedemikian keji. Biarlah, aku tak peduli aku bahkan tak akan rela melihatnya bahagia, terlebih lagi jika bahagia bersama Aditya.

***

Jakarta, Agustus 2011

“Sudah, Di?”

“Iya, Bi. Sebentar lagi aku turun.”

Bintang, laki-laki yang tengah aku pacari 5 bulan ini. Aku tak tega bila harus menyebutnya pelampiasan kekecewaanku pada Aditya. Hatinya begitu lembut, dia seperti malaikat yang dikirim tuhan untuk merangkulku yang sudah tidak tau lagi bagaimana cara berdiri dan menjalani hidup. Dia seperti bintang, yang membuat malamku tetap bercahaya walaupun pagi tak pernah datang.

“Kamu gak masuk dulu ketemu Ibu?” Tanyaku sedikit tergesah-gesah sembari menyambut helm yang Bintang sodorkan padaku.

“Hhhmm, gak usah kali ya? Takut kesorean, nanti aja pas anterin kamu pulang.” Jawabnya singkat kemudian menyalakan mesin motornya.

“Yaudah yuk.”

Motor Bintang melesat sedikit kencang, mengejar waktu untuk menonton film yang telah kami perbincangkan, sebuah film yang diangkat dari novel yang pernah kubaca sebelumnya. Sebenernya Bintang tidak terlalu suka nonton, apalagi baca novel. Tapi itulah, dia selalu menuruti semua keinginanku.

"Kamu mau makan apa?" Tanya Bintang setelah kami selesai nonton.

"Hmm apa ya? McD aja deh, beliin aku paket Happy meal, hehe." Jawabku manja

"Ih Happy meal mulu, dasar anak kecil." Bintang merangkul tubuhku yang mungil kemudian mendekap ku kedalam ketiaknya.

Tuhan, seketika aku teringat pada Aditya, perlakuan Bintang seolah menyeretku pada rekam jejak yang biasa aku dan Aditya lakukan. Bagaimana Aditya sangat senang memendam wajahku ke dalam ketiaknya.  Dan aku dengan kalapnya menciumi setiap inch bau ketiaknya. Aku terpaku.

"Heh, bengong. Kenapa?" Suara Bintang memecah lamunanku yang terseret jauh pada kebiasaan kecil aku dan Aditya.

"Ayo, katanya mau makan?" Bintang menyeret tubuhku yang masih terkunci dalam rangkulanya. Aku masih terdiam.

Sudahlah sudahlah sudahlah... Aku terus menggumamkan kalimat ini dalam hati, menepis jauh-jauh luka yang pernah dengan sangat membuatku lebur. Aku berhak bahagia, bagaimanpun caranya.
                       
         ***

Mc Flury Caramel yummie, aku nikmati 1 gelas ice cream caramel suap demi suap, aku nikmati  sensasi dingin tiap sendoknya, yaah aku sangat suka ice cream. Menu wajib yang harus aku pesan tiap kali ke tempat ini, bahkan tak jarang aku kesini hanya untuk menikmati segelas dua gelas ice cream.

Deg! Seketika badanku membeku, seribu kali lipat lebih dingin dari ice cream yang sedang kumakan. Mataku membelalak, seluruh peredaran darah di tubuhku seolah tersumbat, wajahku memerah biru. Aku mulai merasakan sesak yang luar biasa, sistem pernapasanku tidak lagi berfungsi semestinya. Pandanganku terhenti pada 1 titik.

Aditya. Wajahnya kini berada kurang dari 20 meter dari pandanganku. Pikiranku entah lari ke mana. Tubuhku kosong, nyawaku sudah tidak lagi pada tempatnya. Laki-laki ini setelah ratusan hari aku lalui tanpa sosoknya, sekarang dengan tampannya dia tertangkap pandanganku. Beberapa meja dariku, dia tertawa begitu lepas bersama 4-6 orang kawannya. Ya, dia tertawa begitu lepas, aku bahkan nyaris tak pernah lagi tertawa selepas itu sejak dia menghiantiku. Tapi ternyata tidak untuk nya. Bahkan dia tak pernah mencariku meski kami berada di kota yang sama. Apa arti ribuan maaf yang selama ini dikirim padaku? Tak sesuai dengan fakta yang ada di mataku. Semua omong kosong belaka.  

Sudut-sudut mataku mulai mengeluarkan butiran-butiran air. Semakin deras tak terkendali, semua kesedihan yang selama ini kutahan seolah memuncak. Tuhan, setidak-berharga itukah aku baginya? Setidak-peduli itukah dia akan luka yang dia tinggalkan?

"Di, kamu kenapa? Saraf ku tak lagi bisa menghentikan airmata yang mengalir begitu deras, bahkan suara laki-laki di depanku ini terdengar begitu samar di telingaku meski dia telah mengucapkannya puluhan kali. Otakku hanya bekerja untuk memproduksi air mata sebanyak-banyaknya. Tanpa pedulikan faktor dari luar. Otakku hanya bekerja pada apa yang hatiku kehendaki. Menangis sekeras mungkin.

Angin kini memberi jawaban, pada pertanyaan yang tak pernah kutagih jawabanya. Ya, dia tetap bahagia. Dengan atau tanpaku. Dia tetaplah matahari, yang bersinar walau aku berhenti bernafas.

So go on baby
Make your little get away
My pride will keep me company
And just gave yours all away
Now I'm gonna dress my self for two
Once for me and once for someone new
I'm gonna do somethings you wouldn't let me do
Oh I'm gonna find another you



#CERBUNG2 
by - @momonicaaw

Tidak ada komentar:

Posting Komentar