Jakarta, Agustus 2011
“Wuih! Bung Aditya! Silahkan duduk Pak Redaktur.” Ujar
Nathan, salah satu temanku, ketika aku mendekati meja yang dia dan beberapa
temanku yang lain tempati di salah satu restoran cepat saji. Lalu disambut tawa
dari yang lainnya.
Aku lupa kapan terakhir kali bertemu dengan Reza, Dion,
Luthfi dan Arif. Padahal semasa SMA dulu kami ini teman satu geng sejak duduk di kelas X. Kalau
Nathan, jangan ditanya. Dari SMA bareng-bareng, kuliah di Surabaya satu
kampus-satu kost, sampe balik ke Jakarta juga tinggalnya satu kost.
“Gue liat-liat, makin ganteng aja lo, Dit. Udah macarin
berapa cewek di Surabaya?” celetuk Dion.
“Hahaha, kampret! Elo tuh, keliatannya makin sakti ya ilmu
ke-playboy-an nya. Cakep, On. Cakep!”
Waktu SMA dulu, Dion yang paling banyak ditaksir sama cewek-cewek di sekolah. Karena
dia eksis di OSIS, jadi fans-nya gak cuma cewek-cewek seangkatan aja, tapi juga
adik kelas, bahkan kakak kelas. “Ooooh, atau jangan-jangan, gossip lo pacaran
sama mba Dewi orang TU kita yang cantik itu lo jadiin kenyataan ya?”
Semuanya tertawa. Lalu berlanjut saling menimpali.
Kebiasaan bercanda kami yang saling mengejek masih berlanjut hingga kami seusia
ini ternyata.
“Udah, udah. Diem lo semua. Mending dengerin gue
sekarang.” Luthfi memotong tawa kami. “Mumpung lo semua ada di sini, gue kasih
tau sekarang aja deh ya. Takut ga sempet ketemu laginya…”
“Gaya lo, malih!” Arif menampar pelan wajah Luthfi yang
terlihat serius.
“Yeee, gue beneran gilak. Bulan depan gue married.
Takutnya sibuk aja gitu ngurus ini-itu terus ga sempet main-main.”
Kalimat barusan membuat aku, Nathan, Dion, dan Arif
tercengang. Luthfi, yang selama ini paling kalem di antara kami, dan paling gak
pernah keliatan deket-deket sama perempuan, jadi orang pertama di antara kami
yang menikah.
“Anjrit! Lo abis ngehamilin anak siapa emang sampe
buru-buru mau married gini?” Lagi-lagi Arif menampar Luthfi.
Lagi-lagi yang lain tertawa.
“Jangan sembarangan lo, monyong. Calon istri gue perempuan
baik-baik.”
Sekelebat aku memerhatikan pasangan yang duduk di sudut
ruangan itu. Di sana ada seorang lelaki yang sedang merangkul seorang perempuan
yang bersandar di dadanya. Pikiranku jadi melayang. Seakan-akan pasangan yang
ada di sana adalah aku dan Diandra.
Lagi apa kamu, Di? Masih suka
ke McD?
“Luthfi tegaaaaaa. Temen kita masih ada yang susah move
on, malah mau kawin duluan.” Ujar Nathan dengan nada sedih yang dibuat-buat,
membuyarkan lamunanku. Lalu semuanya menyambut dengan heran dan bertanya-tanya.
Akhirnya, hampir setengah dari waktu pertemuan kami dihabiskan dengan cerita
tentangku. Dan Diandra.
***
“Diiiit. Adiiiit. Bangun dong! Gue pinjem mobil ya.”
Nathan menggoyang-goyangkan badanku yang masih tertidur.
“Dit! Ya ampun. Bangun dulu napaaa. Gue ada janji sama
cewek gue nih, tapi ujan gini masa gue bawa naik motor. Adiiiit!”
“haaaaaa. Iya iya pake aja. Udah sana pergi.” Jawabku
dengan masih setengah sadar.
“Asik. Makasih Aditya-ku.” Nathan mencium pipiku.
“ASTAGAAAA. Siksaan macam apa ini Tuhan. Weekend. Pagi.
Dibangunin paksa. Dicium pipi. Sama Nathan pula.”
Nathan cengengesan melihatku menggerutu sendiri.
Aku paling susah tidur setelah dibangunin secara paksa
macam ini. Dan benar saja. Usahaku memejamkan mata sia-sia. Padahal ini hari
minggu, masih jam 10 pagi. Cuacanya lagi asik untuk bermalas-malasan bahkan
tidur seharian. Suara hujan di luar jendela terdengar jelas.
Eh, hujan.
Diandra begitu menyukai hujan. Sangat menyukai hujan. Jika
kami dalam perjalanan mengendarai motor dan hujan turun, dia pasti akan lebih
memilih untuk melanjutkan perjalanan dan membiarkan air hujan membasahi
tubuhnya.
Aku asik bercengkrama dengan Diandra dalam dunia
imajinasi. Lalu alam bawah sadarku menarik kedua sudut bibir; aku tersenyum.
***
“DIT! Asli! Lo harus tau apa yang gue liat tadi di Mall,
Dit!” Nathan yang grasak-grusuk masuk kamar kost-ku langsung nyerocos heboh.
Aku tidak begitu memedulikannya. Mataku masih tertuju ke layar ponsel, membaca
satu-persatu twit yang ada di timelineku. “DIANDRA, DIT!”.
Diandra. Mendengar nama itu masih selalu membuat jantungku
berdegup lebih kencang dari biasanya.
“Di mana?” Aku menjawabnya dengan santai. Sok santai,
tepatnya.
“Tadi pas gue turun dari mobil, gue liat dia jalan ke arah
mobilnya terus cabut.”
“Oh, ya udah biarin aja.”
“Kok gue heboh sendiri sih? Harusnya kan elo yang heboh,
kampret!”
“Lagi siapa juga yang nyuruh lo heboh-heboh?”
“Terserah deh. Sekarang gue mau tanya, kalo tiap hari lo
masih keingetan Diandra sampe bengang-bengong kayak sapi mau dipotong gini,
kenapa lo gak temuin dia aja sih? Udah satu kota, gak ada alasan buat bilang
susah.”
“Dia gak bakal mau ketemu gue lagi, Nath.”
“Emang lo udah coba? Belum kan? Jangan sotoy!”
“Nggak ah. Dia pasti udah bahagia kok. Gue gak mau dia
keganggu sama keberadaan gue.”
“Dari mana lo tau dia udah bahagia? Gimana kalo
kenyataannya dia juga sama gak beresnya kayak lo gini sejak kalian pisah?”
Aku tersenyum kecil.
“Dia pasti udah susah payah nata hatinya yang gue ancurin,
Nath. Udah setahun lebih. Dia pasti udah terbiasa tanpa gue. Masa gue mesti
seenak-enaknya dateng lagi ke hidupnya? Buat apa? Ngerapihin hati gue yang
berantakan sejak dia pergi? Egois banget dong gue? Nggak deh. Gue takut
nyakitin dia lagi.”
“Takut nyakitin dia? Berarti lo sendiri gak yakin dong ya
kalo lo gak bakal nyakitin dia lagi? Cupu ah. Udah, males gue main sama lo.
Hih.”
“Sialan lo!”
Nathan ngeluyur pergi keluar kamar.
“Kunci mobil gue mana, Nath?”
“Tuh.” Ujarnya sambil menunjuk ke meja.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Lalu mengarahkan kursor
ponselku ke folder tempat foto-fotoku dan Diandra tersimpan. Iya, aku masih
menyimpannya di sana. Aku memandangi foto-foto itu satu persatu. Senyum Diandra
itu manis. Ceria. Diandra memang perempuan yang selalu ceria. Ah, aku rindu
pekikan tawanya.
***
Sebaik-baiknya kedai kopi adalah yang mampu berteman
dengan sepi yang dibawa hati pengunjungnya.
Gelas kopi ke dua. Di luar masih hujan. Pandangan di luar
kaca sebelahku tersamarkan oleh embun. AC di ruangan ini membuat bulu kudukku
berdiri karena kedinginan. Tapi bukan itu yang menyakitkan. Bukan. Kenanganku
bersama Diandra beberapa tahun belakangan ini, membeku, meruncing, membentuk
pedang es yang menusuk-nusuk hatiku tiap mengingatnya. Dingin.
Aku teringat betapa dulu kami dipermainkan oleh keadaan.
Dipertemukan, mendekat, dan berkali-kali menjauh untuk berkali-kali itu pula
menemukan masing-masing dari kami kembali mendekat. Terlalu polos untuk
mengakui bahwa kami saling cinta, tapi tak pernah bisa menjauh berlama-lama.
Hahaha. Lucu kalau diingat.
Di sekolah dulu, Diandra tidak termasuk dalam kalangan
cewek-cewek ribet yang suka berkerumun dan heboh sendiri. Sehari-harinya dia
lebih sering terlihat bareng Risty, teman dekatnya. Selulusnya kami dan saya
meneruskan kuliah di Surabaya, Diandra sekeluarga pindah ke Jakarta. Kami masih
berkomunikasi seperti biasa, meski hanya via chat/sms/skype. Bercerita kejadian
ini-itu yang baru saja masing-masing kami alami, dan, hmm.. pacar.
Sewaktu dia putus dengan pacar terakhirnya—sebelum
akhirnya kami memutuskan untuk pacaran, aku masih ingat, sore itu mendung. Aku
di rumah, dan Diandra setahuku pergi dengan pacarnya ketika itu sepulang
sekolah. Lalu tiba-tiba dia menelepon, memintaku menemuinya di taman depan
restoran fastfood yang biasa kami datangi.
“Adiiiit…. Gue putus masa…..” Diandra mendatangiku dengan
wajahnya yang ditekuk.
“Lah? Putus? Hahahahahahaha..” aku malah menertawainya
ketika itu. Diandra memukul-mukul pelan badanku karena kesal. Aku tetap
tertawa.
“Kok ketawa siiiih? Jahaaaat aaaaaa…”
“Biarin, biar lo bisa jadi pacar gue gitu. Hahahahahaha.”
Aku masih terus tertawa, tapi kemudian terdiam begitu menyadari apa yang baru
saja kubicarakan.
Diandra tertegun, lalu gantian menertawaiku.
Lucu.
Aku juga masih ingat ketika aku meminta dia jadi pacarku.
Waktu itu, aku berencana pulang ke Bandung saat liburan semester. Diandra yang
telah tinggal di Jakarta bersama keluarganya meminta ikut denganku, kangen
Bandung, katanya. Akhirnya di hari yang direncanakan, aku berangkat ke Jakarta
menggunakan kereta. Setibanya di Jakarta Diandra telah menungguku di stasiun
untuk kemudian melanjutkan perjalan ke Bandung denganku, dari stasiun yang
sama.
“Heh, nyender-nyender bayar ya.” Gurauku di perjalanan.
Diandra hanya membalasnya dengan menjulurkan lidahnya ke arahku.
“Di, kenapa sih kita ga pacaran aja?” tanyaku.
“He?”
“Pacaran, Di. Pacaran.”
“Mau sih, tapi nanti kita LDR-an dong?”
Aku tertawa mendengar jawabannya. Mau sih itu jawaban yang terlalu polos untukku.
“Ih, kamu bercanda ya? Kirain serius.”
“Aku serius tau. Cuma lucu aja denger jawaban kamu tadi. Sok-sok
mikir dulu atau gimana kek gitu, jangan langsung ‘mau sih’, ketauan banget
nyimpen-nyimpen hasrat pengen pacaran sama akunya.” Aku tertawa terkekeh-kekeh
menjawabnya.
Diandra tertawa. Dan tak mengatakan apapun, malah kembali
menyandarkan kepalanya di bahuku.
Tak ada kelanjutan dari percakapan itu selama kami di
Bandung, sampai aku mengantarnya pulang ke rumahnya di Jakarta. Setelah
istirahat beberapa jam di rumahnya sambil ngobrol-ngobrol dengan adiknya, aku
pamit pulang karena harus mengejar jam keberangkatan travelku untuk kembali ke
Bandung.
Dalam perjalanan, aku menerima sms dari Diandra:
Hati-hati
ya, pacarku.
Aku kaget dan terheran-heran dengan sms Diandra barusan.
Pacar?
Jawabku singkat. Diandra membalas:
Hahaha,
iya, pacar. Mulai sekarang, gak ada cewek lain yang boleh deket-deket sama
kamu. Soalnya kamu udah jadi pacar aku. :p
Aku tersenyum. Diandra mengiyakan permintaaanku di kereta
dalam perjalanan ke Bandung satu minggu yang lalu.
Siap,
pacar! :D
Bertahun-tahun, dan hanya kalimat sesimple itu yang
menandakan komitmen kami. Bodohnya, setelah keadaan menyerah mempermainkan
kami, aku malah mempermainkan perasaannya.
Aku tersadar dari lamunanku ketika menyium wangi yang
tiba-tiba memenuhi hidungku. Wangi yang kuhapal betul. Parfum Diandra. Aku
celingukan mencari-cari di mana sumbernya. Barangkali Diandra. Tapi aku tak
menemukan sosoknya di sana.
***
Jakarta, September 2011
Pernikahan Luthfi.
Semuanya sudah siap. Para tamu telah duduk rapi
mengelilingi meja tempat pengantin akan melangsungkan akad nikah. Aura bahagia
memenuhi wajah Luthfi. Setelah jas hitam dan kemeja merah marun yang
dikenakannya nampak serasi dengan si mempelai wanita yang menggunakan kebaya
modern senada dengan warna kemeja Luthfi. Penghulu, wali, dan para saksi sudah
duduk siap di tempatnya. Ayat suci Al-Quran dilantunkan. Suasana berubah
hening. Setiap gerakan yang dilakukan orang-orang yang ada di sana serasa
terdengar semuanya. Dari arah pintu masuk datang seorang perempuan, dengan
dress hijau lumut selutut yang membalut tubuh kecilnya. Ia berjinjit-jinjit
karena setiap kali hak tinggi dari sepatu yang dikenakannya bersentuhan dengan
lantai, menimbulkan suara menggema di ruangan ini. Perempuan itu mengambil
tempat duduk di bagian yang berseberangan denganku. Pandanganku tak lepas dari
sosoknya sejak tadi. Itu Diandra. Entah dia menyadari keberadaanku atau tidak.
Dia menolehkan wajahnya ke kanan dan ke kiri, mungkin
mencari temannya. Aku masih saja memandangnya dari tempatku. Lama sekali mataku
kehilangan pemandangan ini. Diandra..
***
Jakarta, Januari 2012
"Hey. Kamu kok udah di sini aja? Gak bilang-bilang
aku lagi." Tanyaku ketika memasuki kamar kosku dan menemukan seseorang
sedang duduk bersandar di tempat tidur sambil menonton tv.
"Abis aku teleponin kamu dari tadi gak bisa. Ya udah
aku mampir ke sini aja deh balik dari kantor."
Aku membenahi sepatu dan tas kerjaku. Lalu masuk kamar
mandi untuk bersih-bersih.
"Kamu udah makan belum, Dit? Aku lapeeeer."
Tanyanya dari luar.
"Belum sih. Abis ini kita ke depan ya, cari
makan."
***
Empat porsi Gultik dan dua botol EsTea untuk dua orang.
Aku dan Nina.
"Mau ke mana lagi kita, Na? Aku anter kamu pulang aja
ya? Udah malem."
"Ngga aaah. Baru juga jam 9."
"Emang gapapa balik malem?"
"Iya gapapa. Nanti aku telepon orang rumah. Lagi juga
besok gak kerja. Malem Sabtuan kita. Hehehe."
Aku tersenyum. "Dasar. Terus ke mana dong kita?"
"Mana ya? Hmmm. Taman situ aja mau gak?"
"Boleh. Yuk." Aku menggandeng tangan Nina menuju
mobilku.
***
Heart
beats fast, colours and promises
How
to be brave, how can I love when I'm afraid to fall
"Ya ampun! Sampe pengamen sini kena demam A Thousand
Years juga!? Kirain orang-orang di soundcloud
doang." Celetuk Nina sambil terkekeh. Lalu mengajakku duduk di ayunan yang
tak jauh dari tempat pengamen itu.
But
watching you stand alone, all of my doubt suddenly goes away somehow
"Dit, kamu pernah ngerasain sakit hati?"
"Hah?"
"Iya. Kamu pernah sakit hati ngga?"
"Ya pernah lah, Na. Masa gak pernah, emang kamu kira
aku bukan manusia apa?" Jawabku bercanda.
Nina tersenyum seraya menundukan kepalanya. Kakinya yang
menjuntai mengayun ayunannya pelan.
"Gak enak ya rasanya sakit hati."
Aku tak menjawab apapun. Desiran angin malam menyapu pelan
rambut sebahu Nina. Matanya menerawang. Entah kemana pikirannya terbang.
"Kamu kenapa, Na?"
Gantian Nina yang terdiam. Suasana hening beberapa saat.
Lalu Nina mulai kembali berbicara. "Sakit hati karena apa yang masih kamu
ingat betul rasanya, Dit?"
Pertanyaan Nina, sebenarnya enggan aku jawab. Aku bosan
terus-terusan membolak-balik cerita di halaman yang itu-itu saja. Tapi perlahan
aku menjawabnya. "Karena menyakiti hati yang di dalamnya penuh dengan
aku." Nafasku tertahan di tenggorokan. Sakit itu kurasakan lagi.
"Maksudnya?" Nina bertanya heran.
Aku tersenyum simpul.
"Coba bayangin. Kamu ada di satu ruangan, terus kamu
ngerakit bom, dan pas udah jadi, kamu tes ledakin bomnya di ruangan itu, di
ruang yang lagi kamu tempatin."
"Iya, terus?"
"Apa yang terjadi? Siapa yang hancur?"
"Ruangan itu dong." Jawab Nina. "Dan aku.
Aku di dalamnya."
"Pinteeer." Aku mengacak pelan rambut Nina.
"Terus, Dit?"
"Terus, ya begitu juga yang terjadi sama aku. Aku
ngancurin hati yang di dalamnya penuh dengan aku. Hasilnya? Aku juga sama
hancurnya.”
“Kalau gitu, aku pemilik ruangan itu. Aku sedih ruangan
itu dihancurin sama seseorang yang udah aku percaya untuk nempatin. Untuk
tinggal di sana.”
Mata Nina mulai berkaca-kaca. Aku meraih tangannya,
mengelusnya pelan.
“Sakit banget ya, Na?
“Hah? Apa sih kamu, Dit. Hahahaha.” Nina mengusap sudut
matanya dengan tisu. “Ya iyalah, banget.” Nina melanjutkan kalimatnya. “Eh,
tapi gak tau juga sih. Kalau aku ya, sakit, sakit banget. Sakit banget rasanya
ngeliat hubungan yang aku jaga dengan seluruh yang aku bisa, hancur. Dihancurin
sama pemiliknya sendiri. Berkali-kali.” Air mata Nina jatuh lagi.
Perasaan bersalah kepada Diandra itu menghantuiku lagi.
Aku melihat Nina dengan begitu pedihnya bercerita tentang sakit hatinya.
Diandra mungkin sama sakitnya dengan Nina. Atau bahkan lebih.
“Rasanya sakit banget, Dit. Di dalam dada, tapi gak tau di
mana. Aku gak tau pasti di mana sakitnya.” Nina terkekeh-kekeh tertawa, tapi
matanya berlinangan air mata.
***
Jakarta, Maret 2012
Kayaknya
aku liat kamu lagi makan Gultik kemarin malam ya. Kamu di Jakarta, Dit?
SMS dari Diandra.
Aku tersentak. Kaget. Entah berapa banyak usahaku
menghubunginya yang diabaikan, dan sekarang dia datang seperti tak ada yang
terjadi kemarin-kemarin. Kemunculan tiba-tiba Diandra membuat tubuhku
panas-dingin. Bagaimana? Aku harus apa?
Aku memutuskan meneleponnya.
“Halo.”
“Halo..” aku menjawabnya. Kaku.
“Ya, kenapa, Dit?”
“Gapapa, Di. Iya kemarin
malam aku di sana. Kamu juga?”
“Nggak sih, cuma kebetulan
lewat aja terus kayak liat kamu, ternyata bener kamu.”
“Iya, aku. Kamu lagi di
mana?”
“Lagi di mcD, Dit. Pulang
kerja iseng aja mampir.”
“Aku ke sana, boleh?”
“Hah?”
“Aku susulin kamu ke sana,
boleh nggak?”
“Hmm.. Ya boleh aja sih. Ya
udah sini aja.”
“OK, 20 menit lagi aku sampe.
See you there.”
“OK..”
***
“Masih sering makan es krim?”
“Haha, iya, masih.”
Diandra kini ada di hadapanku. Diandra yang sekian lamanya
menghilang. Menghindariku. Lari tanpa pernah ada keberanian di diriku untuk
mengejarnya. Dia di hadapanku sekarang. Menikmati segelas es krimnya. Es krim
kesukaannya. Es krim yang sama dengan yang dulu sering dia pesan setiap kami ke
sini.
“Lama banget gak liat kamu. Dari jarak sedekat ini.”
“Tapi kalo dari jarak jauh, sering? Hehehehe.” Diandra
menanggapiku dengan candaannya.
Aku tersenyum. Candaan Diandra masih sama hangatnya
seperti dulu.
“Kamu apa kabarnya, Di?”
“Hmm, ya gini, baik kok. Kamu gimana?”
Nggak pernah sebaik dulu,
sejak kamu pergi dari aku, Di. Jawabku
dalam hati. Iya, hanya dalam hati. Mulutku berbicara lain. “Kayak yang kamu
liat deh, sehat kan?” Aku mengepalkan tangan kanan dan berlaga menunjukan otot
lenganku yang berbalut kemeja.
Diandra tertawa. Akhirnya aku bisa melihat tawa itu lagi.
Tawa sederhana yang selalu menenangkan perasaanku.
***
Pukul 23.05. Aku baru bisa merebahkan diri di tempat
tidurku. Ponsel. Aku mengambil ponselku dari kantong tas kerjaku.
9 new missedcalled Nindya
Zafina
4 new messeges
Diandra Putri
22:10
Terima
kasih sudah mengantar sampai rumah ya, Aditya. Hati-hati di jalan.
Nindya Zafina
21:59
Baby
please, are you OK? L
20:35
Hello? Are
you there?
19:15
Sayangku udah
pulang? Aku baru aja sampe rumah. Macetnya parah banget aku sampe aku kelaparan
di jalan. Eh tapi sekarang udah kenyang deng, mama masak soto daging kesukaan
aku. Hihihi
Ah, iya. Nina. Aku lupa mengabari pacarku ini sejak sore
tadi. Aku bisa membayangkan bagaimana raut wajah khawatirnya yang
menunggu-nunggu kabarku.
Calling Nindya Zafina.
#CERBUNG3
by - @fitriandiani
by - @fitriandiani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar