Rabu, 31 Oktober 2012

#cerbung4 oleh @momonicaaw


Jakarta, Januari 2012

Eh. Aditya...
Lagi.  Pemandangan ini kembali mengisi seluruh sudut pandanganku. Ya, ini bukan kali pertama aku melihatnya di kota ini, setelah perpisahanku denganya. Hatiku sudah mulai terbiasa dengan pemandangan ini, tak lagi sehancur seperti pertama kali melihatnya beberapa bulan lalu. Tapi, perasaan magis ini masih ada, aku masih bisa merasakan saat ini jantungku berdegup hebat.

***

Jakarta, Agustus 2011

"Aaaaah... Selamat pagi, Minggu." Minggu di pagi hari. Tak biasanya, aku bertemu dengan pagi di hari minggu. Aaahhh, rasanya masih ingin bermanja-manja dengan kasurku, berkali kali aku merenggangkan otot-otot di tubuhuku, menggeliat kesana-kesini. Tapi, seluruh organ tubuhku rasanya sulit sekali kuajak berkompromi dengan pagi.
"Ayoo bangun, Di." aku memerintahkan diriku sendiri yang sedari tadi hanya mengulet di atas tempat tidur.
Aku mulai beranjak dari tempat tidurku, melawan keras rasa malas yang bergelayut di tubuhku. Kemudian langkahku terhenti tepat di depan cermin. Aku tertegun, aku melihat betapa menyedihkanya aku. Tubuhku yang kecil semakin terlihat kurus kering, lingkar hitam di sekeliling mataku semakin terlihat tegas, mata ku sembab karna menangis semalaman, wajahku  lesu dan kusam. Ya Tuhan, betapa menyedihkanya aku.
Peristiwa kemarin malam kembali berputar sempurna di otak ku. Sudut mataku mulai basah. Ahh ayolaaah. Di. Terlalu pagi untuk menangisi kesedihanmu. Aku mengibas-ngibaskan mataku yang mulai banjir, menahan rebasan air mata yang terus menyembul.
Aku tak membiarkan hatiku berpikir keras mempertanyakan pertanyaan yang belum siap kudengar jawabanya. Apa yang sedang Aditya lakukan di Jakarta? Liburan kah? Mengapa dia tak mencoba menemuiku? Atau kedatanganya ke kota ini karna wanita itu? Semua pertanyaan itu kutepis jauh-jauh. Aku ingin sedikit lebih menyayangi diriku.

***

"Lun, gue udah sampe yaa." Pesan singkat untuk sahabatku.
"Oh, iya-iya ini gue juga udah mau sampe, Di."
"Mau sampe mane? Pager rumah lu?"
"Hehehe :p"
Aluna, dia adalah orang paling menyebalkan  masalah waktu. Jam waktu yang dia gunakan bisa 2-3 jam lebih lambat dari waktu yang orang-orang di seluruh dunia gunakan. Entah dia tinggal di belahan dunia bagian mana. Aku sudah terbiasa dengan jam karetnya.
Oke, berarti aku harus menunggunya kurang lebih 2 jam lagi. Seharusnya kami janji bertemu di coffee shop di mall ini. Coffee shop baru, aku dan Aluna ingin mencobanya. Tapi aku tak ingin menunggunya lama-lama di sana, bisa berapa cangkir kopi yang harus aku habiskan untuk menunggunya? Aku memutuskan berkeliling di toko buku Gramedia, melihat-lihat buku barangkali ada yang memikat hati.

***

"Di, ngapain?"
Aku menoleh ke sumber suara itu berasal. Nathan.
"Aih, Nathan. Long time no see. Sama siapa? Korban barunya yah?" Aku melirik ke arah wanita cantik di sebelah Nathan.
"Haha resek ye. Kenalin, ini Anggun. Anggun, kenalin ini Diandra. Dulu sih wanitanya Aditya, gak tau deh kalo sekarang, haha."
"Ha..ha..ha.." Ketawa ku garing, entah bagian mana yang harus ku tertawakan. Jika itu tentang Aditya, semua terasa gelap.
"Yeee, langsung kaku. Adit ada tuh di kost-an. Dia udah pindah ke sini kan sekarang."
"Oh ya? Oh, salam aja deh ya." Lututku lemas, bibirku mulai bergetar. Aku tak berani berkata banyak, nafasku mulai tersengal-sangal. Tidak lucu jika aku pingsan di depan Nathan mendengar kabar Aditya. Ya dia di Jakarta, yang kulihat semalam memang Aditya. Aditya-ku.

***

"Hehehehe Sory lama ya gue?" Aluna menghampiri meja ku. Aku tak menjawabnya. Aku masih saja mengaduk-aduk kopiku sedari tadi. Entah sudah berapa ratus kali aku mengaduknya tanpa kuminum setegukpun. Lamunanku ikut tenggelam dalam larutan kopi yang kuaduk sendiri. Aku tenggelam.
"Di..."
"Di, yailaaaah gitu aja ngambek sih, iya iya sory gue kelamaan datengnya. Maaf ya, Sayang." Aluna merengek padaku. Bukan, aku bukan sedang marah padanya. Hanya saja keadaanku menjadi buruk setelah pertemuanku dengan Nathan tadi.
"Diiiii..."
"Gue barusan ketemu Nathan." Jawabku. Suaraku terdengar parau. Aku terus mengaduk cangkir kopiku.
"HAHH? Sama Aditya?" Aluna pun sama terkejutnya denganku.
"Nggak kok, sama cewenya."
"Terus terus?"
"Yaudah, gakpake terus-terus."
"Terussssss???"
Aku diam. Mengatur nafasku yang sejak tadi tak tau aturan.
"Yaaa, sama kaya yang mau gue ceritain ke lo hari ini. Semalem gue liat Aditya di mcD." Senyumku menyimpul. Butiran air mataku merebak berebut ingin keluar.
"Gue liat dia lagi asik banget ketawa sama temen-temenya." Air mataku tumpah, bercampur dengan seduhan kopi yang tak lagi hangat.
"Terus tadi gue ketemu Nathan di Gramedia, dia cerita kalo Aditya udah pindah ke Jakarta sekarang. Udah hampir sebulanan"
"Yaa, gitu deh pokoknya" Kalimatku mulai terbata-bata. Aku tak sanggup lagi melanjutkan ceritaku.
Aluna mencoba menenangkanku, mengusap-usap bahuku menyingkirkan kesedihan yang tertumpuk di atasnya.
"Udah ya, Di. It's clear enough. Lo udah ambil langkah buat pergi, lo gak bisa balik lagi buat ambil apa yang udah lo tinggalin,"
"Ada beberapa hal yang sengaja Tuhan ciptain untuk kemudian ninggalin kita. Untuk dilihat, seberapa besar rasa syukur kita ketika diberi dan kemudian diminta kembali." Kucermati setiap kata yang Aluna keluarkan. Tapi tidak, semua tertahan pada tembok yang aku bangun begitu tinggi. Kenapa?
"Tapi kenapa, Lun? Gue salah apa sih sama dia? Bahkan dia gak pernah nyoba buat nguatin gue saat gue hancur. Dia gak pernah nyoba buat pertahanin gue saat gue nyerah dan mutusin buat pergi. Gue gak minta maaf dia, gue cuma minta dia, gue butuh dia buat nguatin gue. Dia di mana?" Semuanya keluar. Teropi ikhlas, topeng tegar, semua hancur. Terlihat jelas lempengan-lempengan hatiku yang tertata tak beraturan. Hancur, berantakan.
"Semua pilihan, Di. Menjadi baik atau burukpun pilihan. Gue yakin Aditya punya alasan akan pilihanya sendiri."
"Ya tapi kenapa harus sejahat itu, Luuuun?" Suaraku meninggi, tangisku memecah ke seluruh peredaran darah, air mata membanjiri kesedihanku.
" Pertanyaan 'kenapa' itu semestinya ga ada. Karena setiap lo tanya kenapa, apapun penjelasannya, pasti berujung ke Tuhan. Karena Tuhan. Kalo ada masalah yang ga bisa lagi diterima sama logika, ya udah, balikin aja ke yang udah pasti; Tuhan.” 
Aku termengu, diam. Apa yang dikatakan Aluna benar. Bagaimana bisa selama ini aku begitu sombong pada Tuhan, meragukan semua rangkaian rencana-Nya hanya karna ekspektasiku akan mimpi yang terlampau tinggi. Ahh Tuhan, aku malu sekali pada-Mu.
"Hey, goy it?" Aluna menatapku, tersenyum. Senyum mengajaku bangkit dari lubang yang aku gali sendiri. Bukan lubang ini yang menjerat, tapi aku yang memang tidak ingin bangkit. Aku bodoh.
"He'eh..." Aku tersenyum, masih dengan sisa-sisa air mata yang selama ini mengaburkan pandangan ku.
Aku harus bangkit, bukan waktunya bertanya kenapa, bukan waktunya menghakimi siapa yang salah siapa yang benar, bukan waktunya larut pada kesedihan yang sengaja aku buat semakin pedih. Aku berhak bahagia, bagaimanapun caranya. Aku ikhlas, aku belajar untuk ikhlas. Aku mengikhlaskanmu. Aditya...

***

Jakarta, Maret 2012

"Halo, Bi. Kamu di mana?
"Aku masih di kantor, Di. Kayanya lembur, kenapa?"
"Yaaah, masih lama dong yaa?"
"Iya nih Sayang. Kenapa?"
"Aku mau ice cream, BiAku udah sesesai ngantor mau mampir ke mcD sama kamu maksudnya."
"Yah gimana ya. Maaf ya, Sayang. aku ada lemburan."
"Yaudah gakpapa, aku ke mcD aja sendiri. Gakpapa kan?"
"Sendiri? Naik apa?"
"Gampanglah, taksi juga banyak."
"Yaudah, jangan kemaleman ya."
"Oke, Sayang."

***

Seperti biasa, Jakarta dengan macetnya. Huffttt, siapa yang tidak menghela nafas  dengan macetnya Jakarta. Rentetan mobil berlomba klakson semerdu mungkin. Bodoh, dipikirnya dengan meng-klakson semau jidatnya jalanan bisa mereka sulap menjadi lancar? 
Aku mengeluarkan I-Touch dari tasku, music mungkin dapat mengurangi kejenuahanku dari macet. Kusandarkan kepalaku, meregangkan otot-otot yang kaku lantaran seharian kerja. Ternyata di luar gerimis, ah indah sekali kaca-kaca mobil dipenuhi titik-titik tetasan hujan. Aku memandangi sekeliling jalanan. Jalanan mulai basah, aku membuka kaca mobil menghirup bau hujan yang telah menyatu dengan bau tanah, nikmatnya.
Di kejauhan aku melihat beberapa pedagang Gultik sedang bersiap membuka lapak mereka.  Ingatanku tertuju pada Aditya. Kemarin malam aku melihatnya di sini, dan memang bukan sekali aku melihatnya di sini. pemandangan tidak asing, pria dengan jaket hitamnya sedang duduk di pinggir gerobak pedagang Gultik. Aditya. "Hay, Aditya"  Tanyaku dalam hati saat itu, seraya mengembangkan senyumku. Ya, sudah lama aku berdamai dengan hatiku, memaafkan semua luka yang telah Aditya tinggalkan, tak ada lagi perih yang mengiris tiap kali Aditya menyentuh hidupku.
Sudah kesekian kalinya aku menikmati pemandangan seperti itu dari kejauhan, dan diam-diam. Aku mulai rasakan luka itu sudah kering, sembuh dengan beriringnya waktu. Tapi entah kapan, aku berani untuk kembali hadir dalam hidupnya. Sebagai Diandra Putri yang baru.

***

Sampai mcD, aku mengambil meja di sudut, dengan dua gelas mc flury rasa caramel dan permen. Entah seperti ada yang mengganjal. Hatiku seperti dengan lantangnya menyebutkan nama Aditya. Aku mengeluarkan ponselku.

Kayaknya aku liat kamu lagi makan Gultik kemarin malam ya. Kamu di Jakarta, Dit?

-Sending Message-

Aditya is calling...

***

Di hadapanku, ada sosok yang sesungguhnya begitu aku rindukan. Jika boleh, ingin sekali rasanya menyeret tubuhku kedalam pelukanya. Tapi tidak, aku tak ingin ego ini merusak kembali apa yang dengan susah payah telah aku susun rapih.
Suasana ini hangat, walau sepertinya terasa canggung dan palsu. Tapi waktupun tau, kami hanya butuh bumbu adaptasi.
"Kamu sudah maafin aku, Di?" Tanya Aditya seketika di sela candaan kami.
Terkejut. Rasanya seperti membuka luka itu lagi. Aku tersenyum, mengaduk gelas icecream-ku. "Sudah sejak lama, Dit" Jawabku tanpa melihat wajahnya.
Aditya tersenyum, aku pun. Hati kami berbicara, aku tak banyak berkata. Biar hati  yang saling berdiskusi, menjawab pertanyaan yang tak terucap, memberi jawaban yang tak berkunci, memaafkan luka yang lama tersimpan.
Namaku Diandra Putri, tanpa luka dihati, tanpa dendam yang mengalir. Kami baru, dengan cerita baru..




#CERBUNG4

by - @momonicaaw

Tidak ada komentar:

Posting Komentar