Jumat, 21 Desember 2012

HUJAN~






Air hujan, dia paling teguh
Semesta, dia punya kuasa
Langit, berkehendak sesuka hati
Meminta air hujan pergi dan kemudian diminta untuk kembali
Tapi, air hujan tetap setia mencari jalan untuk kemudian bersatu kembali dengan langit. 
Tak peduli berapa pun dia dihempas ke bumi.

Diana Monica,







tak ada waktu tuk menjelaskan
tak sangka ini kan datang
tiap liku berbagi hidup
sejenak melepas lelah
kautinggalkan diriku

ingat kembali yang terjadi
tiap langkah yang kita pilih
meski terkadang perih
harapan untuk yang terbaik
sekeras karang kita coba

tak akan kuhalangi
walau ku tak ingin kaupergi
kan kubangun rumah ini
walau tanpa dirimu 

waktu hujan turun 
di sudut gelap mataku
begitu derasnya
kan kucoba bertahan


Rabu, 19 Desember 2012

Dandelion

Seperti kelopak Dandelion yang terhempas angin, mengangkasa di udara tanpa pernah diizinkan jatuh ke tanah untuk menaburkan bibit baru sebuah kehidupan. Seperti itulah rinduku hidup, tetap ada walau tanpa izin.















Diana Monica,

Rabu, 12 Desember 2012

Masih Meja Yang Sama

Pukul sembilan malam. Di kios yang biasa kita kunjungi, meja di sudut tepi jalan, dua cheese burger ukuran besar, empat teh botol di atas meja, lampu redup berwarna kuning dan tentu saja gelak tawa kita yang beradu saut dengan knalpot kendaraan. Kesunyian malam yang menenangkan mana lagi yang tak patut kusyukuri? Tapi, tempat ini, malam ini, terasa berbeda. Tanpamu...



Diana Monica,

Kamis, 06 Desember 2012

Sambatan Semu

Apa yang kamu khawatirkan?
Tak ada, Tak perlu. Aku baik-baik saja di sini.
Setidaknya, bibirku masih sanggup melengkung indah sebagaimana mestinya.
Waktu dan jarak sudah lama aku kalahkan, bahkan jauh sebelum kamu benar-benar pergi.
Keberhasilanmu mengalahkan egoku yang seringkali merengek memintamu untuk datang semauku menjadi alasan mengapa aku masih tegak sampai detik ini. Terima kasih untuk itu.
Hanya saja... Kali ini aku seperti kehilangan alasan untuk bertemu hari esok.



Diana Monica,

Selasa, 04 Desember 2012

Ada yang harus dilepaskan untuk tau rasanya lega,
Ada yang harus menghilang untuk tau rasanya sesal,



Zarry Hendrik,

Sabtu, 17 November 2012

Hati

Tap tap tap... Suara langkah kaki semakin jelas terdengar. Kugandakan tenagaku untuk membereskan pecahan beling berwarna merah di tangan kiriku. Sesekali terasa beberapa pecahan beling menusuk permukaan kulit jari-jari tanganku. Aaah terlambat, ia sudah tepat di hadapanku sekarang.
 "Kau Sedang apa?" Tanyamu kemudian berlutut mencari wajahku yang tengah sibuk mengumpulkan pecahan beling.
"Bukan apa-apa." Jawabku tak menghiraukanmu. 
"Mari kubantu." 
"TIDAK PERLU!" Bentakku seketika. "Tidak Perlu. Kau pergilah." Aku mengulang ucapanku. Tapi kali ini jauh lebih lembut. 
"Apa yang terjadi?" Tanyamu yang masih berlutut memperhatikanku membereskan pecahan beling yang berserakan di lantai. 
Aku tak menghiraukanmu, aku masih sibuk dengan pekerjaanku. Perih sekali rasanya, entah apa yang terjadi ada perih yang luar biasa tapi entah di mana letaknya. Air mataku mengalir tanpa perintah, entah apa tujuannya. Tuhan, apa ada yang salah dengan sistem pada tubuhku? Mengapa tanggul air mataku jebol begitu saja? Aku malu, Tuhan. 
"Hei, kau kenapa?" Kau menarik wajahku yang basah diguyur air mata. Pandanganmu menikam wajahku, aku benci situasi seperti ini. Kubuang jauh-jauh wajahku dari tanganmu. Aku melanjutkan mengumpulkan pecahan beling di lantai. 
"Aaahhh...!!!" Satu pecahan beling menancap di ibu jariku, darah segar mengucur setelahnya. Brengsek sakit sekali. 
"HEY, SUDAHLAH," Bentakmu setelah melihat darah mengalir dari tubuhku. "Apa yang terjadi? Mengapa di sini begitu berantakan?" Kau menurunkan volume suaramu, kemudian menghisap luka di jariku. 
"Bukankah kau yang memecahkannya? Kau yang membuatnya berantakan?" Tatapanku sinis ke arahmu, masih dengan air mata yang mengalir dan membanjiri wajahku. Kuhempaskan tanganku dari genggamanmu, kemudian kembali mengumpulkan pecahan beling tadi. 
Kini semua pecahan beling berwarna merah itu sudah terkumpul di tangan kiriku, mungkin ada beberapa yang hilang, tapi tak apa. Kemudian dengan cepat-cepat aku menelan semua pecahan beling itu ke dalam mulutku, semua, tanpa sisa. 
"HEY APA YANG KAU LAKUKAN?" Matamu membidik tajam. Sepertinya kau terkejut melihat tingkahku. 
"Yang sudah pecah dan hancur berantakan ini, tetap harus kembali ke tempatnya.."




Diana Monica,

Jumat, 16 November 2012

Bait Pertama

 Kamu .. Adalah bait pertama yang tak sudah-sudah kubaca :')


Diana Monica,

Kamis, 15 November 2012

Tiga Tahun Kemudian



Suatu hari.
Sebuah cincin. Ukirannya demikian indah, maka kuputuskan memakainya. Entah mengapa, ukurannya teramat kecil, cincin itu hanya termuat di kelingkingku.
Tanpa sengaja, aku bertemu seorang sahabat. Kamu, seperti biasa, menyadari sesuatu.
“Tumben pakai cincin.”
“Iya, iseng. Dioleh-olehin teman.”
***
Tiga bulan berlalu.

Hari aneh. Printer rusak. Tugas kuliah tertinggal. Lupa jadwal praktikum.
Kesialan terakhir hari itu adalah ketika kusadari bahwa cincinku terlepas dan hilang. Sepanjang perjalanan pulang, aku bersungut kesal.
Di gerbang kampus, berpapasan denganmu.
Spontan semua cerita terlontar. Yang terakhir, “cincinku hilang.”
Kamu tersenyum, menyahut cepat, “Tiga tahun lagi, kuganti, ya. Tapi pakainya di jari manis.”
***
Tiga tahun kemudian. Kamu menepati janji. Namun bukan jari manisku. Aku menyaksikan pernikahanmu, sahabatku.



-Repost- Cubiculum Notatum by @emiralda

Rabu, 14 November 2012

Makanan Lezat



"Hari ini kau ingin makan apa, Nak?" tanya bapak dengan peluh yang bercucuran di dahinya. Siang ini matahari menyorot begitu tajam.

"Apa saja, Pak. Pizza seperti kemarin aku juga suka atau ayam bakar tempo hari juga enak." jawabku, sambil memikirkan rentetan makanan di benakku.

"Baiklah, tunggulah sebentar lagi." jawabnya, sambil meletakkan karung besar yang dipikulnya hasil seharian mengorek sampah kemudian menyandarkan tubuh kecilnya di atas karung berbau busuk itu.

30 menit setelah kami menunggu. Seorang wanita paruh baya dengan daster merah kembang keluar dari pintu gerbang nan megah itu dengan kantung plastik hitam besar di tangannya dan meletakanya di sisi jalan.

"Mari, Nak. Makanan kita datang. Kira-kira hari ini menu-nya apa?"



Diana Monica,

Senin, 12 November 2012

Sup Daging


"Makanlah, bu!" kusodorkan sepiring nasi aking tanpa lauk-pauk.
"Kau saja yang makan, nak!"

"Tidak, bu. Perutku sudah kenyang." kuremas perutku yang tak sampai segenggam, sudah hampir lima hari tak ada makanan yang mampir ke perutku.

Kuperhatikan wajah ibuku. Tulang wajahnya menyembul, kulitnya juga mulai mengendur. Tanganya yang hanya sebesar gagang sapu gemetar menyuap setiap sendok nasi aking ke mulutnya.

"Bahkan ibu hampir lupa rasanya sup daging." ucapnya di sela suapan nasi akingnya.

***
"Ibu, mari bangun! Aku memasak sesuatu yang lezat." kuguncangkan tubuh ibuku. 
"Wah, sup daging?" wajahnya berbinar. 
"Ya, bu. Makanlah yang banyak!" ujarku sambil menahan rasa nyeri yang luar biasa di balik balutan perban di paha kananku.


Diana Monica,

Kamis, 08 November 2012

Cermin



"Apa yang kaulihat?" Tanyaku

"Itu.." Jawabnya sambil menunjukan jarinya pada seorang gadis yang sedang berlutut.

Aku ikut memperhatikan gadis itu. Kuperhatikan baik-baik. Gadis itu menangis.

"Dia menangis?" Tanyaku.

"Ya.." Zorra mengangguk pelan.

"Mengapa?" Aku bertanya lagi, kali ini Zorra tak menjawab.

"Lalu, apa yang kita lakukan di sini?" Zorra masih tak menjawab pertanyaanku, ia masih dengan tenang memperhatikan gadis itu.

"Sampai kapan kita akan bersembunyi di balik pohon seperti ini? Lututku hampir kaku, aku lelah."

"Kau diamlah, jangan banyak mengeluh seperti wanita." Zorra menarik lenganku, mengajakku berlutut dan bersembunyi di balik pohon pinus besar. Aku menurutinya.

Seketika langit gelap, hujan turun begitu deras setelahnya. Gadis itu masih dengan kesedihanya berlutut di tengah padang dandelion. Aku mengingat, tak ada angin yang berhembus sebelumnya dan tak ada sehelaipun kelopak dandelion yang terhempas. Lalu mengapa hujan tiba-tiba turun? Kucermati wajah gadis itu, air matanya tak lagi terlihat, tersamar rembasan air hujan yang tumpah di wajahnya. Kutatap langit, rupanya langit berkehendak, tak tega gadis itu menangis seorang diri. Di kejauhan sepasang wanita dan pria datang mendekat. Di bawah payung yang sama, mereka melangkah perlahan.

Rasanya seperti melihat pertunjukan sebuah teater, kunikmati alur ceritanya. Tak ada suara, aku hanya melihat raut wajah mereka dan membaca bahasa tubuhnya. Gadis itu masih tetap sama, berlutut dengan kesedihannya meskipun sepasang wanita dan pria tadi telah berdiri tepat di hadapannya. Entah apa yang membuatnya demikian, mungkin kesedihannya amat berat membebani punggung gadis itu. Aku meremas dadaku. Ada yang aneh, aku merasakan nyeri yang luar biasa di sini.

"Apa yang mereka bicarakan?"

"Diam dan lihat saja."

Pria itu memberikan sebuah payung pada gadis itu, sedang wanita yang satunya memayungi dirinya dan pria di sebelahnya. Gadis itu masih diam, masih dengan air mata yang tersamar hujan. Pria itu meringkuh, membuka payung yang hendak ia berikan dan memayungi gadis itu. Air matanya ikut tumpah, pria itu menangis.

"Mengapa ia turut menangis, Zorra?"

"Pria itu hendak meninggalkan gadis itu." Suara Zorra terdengar parau, kualihkan pandanganku pada Zorra. Sama sepertiku, Zorra pun tengah memegangi dadanya. Apa ia juga merasakan nyeri sepertiku? Aneh sekali. Aku kembali memerhatikan gadis dan sepasang wanita dan pria tadi. Pria itu menggenggam tangan gadis itu, kemudian mengarahkan tanganya ke gagang payung yang ia buka tadi, gadis itu menurutinya. Gadis itu memegangi payungnya dengan lemah, tanganya gemetaran. Kini air matanya kembali terlihat, air hujan yang sejak tadi menyamarkan air matanya kini tertahan payung. Kulihat mulutnya bergetar hebat, mungkin banyak kata yang tertahan di sana.

Benar saja, sepasang pria dan wanita itu melangkah pergi meninggalkan gadis itu. Langkah pria itu terasa berat, aku bisa merasakannya. Kini gadis itu kembali sendiri, di tengah hujan dan padang dandelion yang kelopaknya habis tersapu hujan. Tubuhnya lemas, payungnya pun terjatuh ke tanah. Air matanya kembali menyatu dengan hujan.

"Apa yang terjadi pada gadis itu?"

"Entahlah, mungkin ia akan hancur."

"Kenapa?"
"Pria itu membawa sebagian hatinya," Zorra melangkahkan kakinya dan meninggalkan tempat ini "Kalau pun ia bertahan hidup ia akan sekarat seumur hidup." Lanjutnya.
"Lantas mengapa pria itu meninggalkannya?" Tanyaku kemudian mengikuti langkahnya pergi.

"Entahlah, pria itu menyebutnya pilihan."

"Pilihan untuk apa?" Tanyaku terus menerus, Zorra pun tak kelihatan keberatan menjawab semua pertanyaanku.

"Entahlah, menurutmu?"

"Ah.. Aku mana tau, aku tak mengenal mereka," Jawabku sambil menggaruk-garuk merah di tanganku, sepertinya banyak semut merah di pohon tadi.

"Memang mereka tadi siapa? Kau mengenalnya?

Zorra tersenyum, lesung pipinya samar terlihat. "Pria itu namanya Sakka." Jawabnya

"Sakka? Seperti namaku. Lantas wanita yang bersamanya? Siapa namanya?" Tanyaku lagi.

"Entahlah, aku tak mengenalnya." Jawabnya ringan kemudian Zorra memetik setangkai ranting muda di tepi jalan yang kami lewati. Sambil berjalan ia mengayun-ayunkan tangkainya.

"Lalu, siapa nama gadis malang itu?"

"Namanya Zorra."  



***



Diana Monica,

Selasa, 06 November 2012

Repost - Lelaki Dari Masa Depan




“Kelak di masa depan akan ada penemuan luar biasa,” ucapku pada perempuan berparas cantik yang duduk lesehan di sampingku itu. Lalu lintas depan Circle K Kemang Raya masih ramai, kendaraan berlalu lalang dari dua arah, macet dan semrawut.  Motor, mobil pribadi, Kopaja, hingga bajaj yang knalpotnya mengepulkan asap. Beberapa pejalan kaki di atas trotoar tampak gelisah dan terburu-buru. Samar-samar tercium wangi sate Padang yang dibakar di atas tungku, dan aroma nasi goreng dari gerobak yang mangkal tak jauh dari situ. Perempuan di sampingku tersenyum, kemudian membuka kaleng minuman dingin di tangannya. “Namanya mesin waktu,” lanjutku tanpa mengalihkan pandangan dari kedua mata beningnya. “Dengan itu kamu bisa melakukan sesuatu yang selama ini hanya menjadi khayalan bagi banyak orang.”
“Melihat masa depan?” tanyanya.
“Bukan,” aku menggeleng. “Mesin waktu tak diciptakan untuk itu. Bahkan di masa depan nanti, orang-orang pintar, – para ilmuwan jenius itu tetap akan membiarkan masa depan menjadi misteri. Agar hidup tetap berjalan seru dengan segala misterinya. Agar manusia tak bertindak semaunya setelah melihat masa depan mereka yang indah, juga agar mereka yang bermasa depan buruk tidak dihantui ketakutan yang sia-sia.”
“Bukankah dengan melihatnya, mereka yang masa depannya buruk atau suram bisa menata diri mereka lebih baik agar masa depan itu menjadi lebih indah?”
“Memang benar,” tukasku sambil tersenyum. “Tapi kalau seperti itu, apa serunya hidup? Bayangkan saja kalau kamu bisa pergi ke masa depan, lalu bertemu dengan pasangan hidupmu, anak-anakmu, atau jika terjadi sesuatu yang buruk, bisa saja kamu mendapati kenyataan bahwa di jaman itu kamu sudah mati dan hanya tinggal nama. Bisa dipastikan hidupmu takkan berjalan seperti sekarang bukan?”
“Aku tak berani membayangkannya.”
“Tujuan utama diciptakannya mesin waktu adalah memperbaiki kesalahan,” lanjutku antusias. “Tapi teknologi itu juga bisa kau gunakan untuk mengobati rindu, untuk bertemu kembali dengan orang-orang yang pernah kau cintai namun tak mungkin lagi kau temui. Mungkin bisa juga untuk meminta maaf pada orang yang telah kau lukai namun belum sempat kau meminta maaf , dan masih banyak lagi kegunaan lainnya. Yang jelas, mesin waktu hanya bisa berjalan mundur, bukan maju ke masa depan.” Pungkasku panjang lebar.
“Dan itu akan dijual bebas?” tanyanya.
“Sayang sekali tidak,” aku menggeleng. “Mesin waktu cuma disediakan terbatas. Akan tertulis di peraturan internasional, satu negara hanya boleh memiliki satu mesin waktu. Untuk bisa memakainya orang harus membayar cukup mahal. Namun bagiku itu wajar, bukankah kesempatan untuk memperbaiki kesalahan adalah hal yang tak ternilai harganya?”
“Tapi kalau aku hidup di jamanmu, aku tetap tak akan mau kembali ke masa lalu. Rasanya aku tak akan butuh mesin waktu.”
“Kenapa?”
“Bagiku masa lalu hanya untuk dikenang, atau untuk dijadikan pelajaran.” Jawabnya. “Masa depan yang jauh lebih penting. Kalau tadi kamu bilang hidup tak akan seru saat kita bisa melihat masa depan, bagiku hidup tak akan bisa maju kalau kita terus terpaku atau larut menyesali masa lalu yang menyedihkan.”
Kali ini aku yang terdiam. Sebenarnya aku masih ingin membantahnya, dan meyakinkan dia bahwa mesin waktu untuk kembali ke masa lalu adalah penemuan yang sangat berguna. Namun waktuku mampir ke jaman ini hanya tersisa beberapa menit lagi. Setelah ini aku sudah harus kembali ke jaman di mana aku tinggal. Jaman di mana aku sudah menjadi seorang sutradara terkenal dan hidup bahagia bersama seorang istri yang sangat kucintai, dan dikaruniai seorang anak laki-laki tampan yang nakal bukan main, tapi mewarisi sifat teguh dan pantang menyerah dari ayahnya.
“Lalu?” tanyanya. “Untuk apa kamu datang ke sini?”
“Tentu saja untuk..”, aku menghela nafas sebentar. Pemilik sepasang mata bening itu kembali tersenyum, dan aku semakin salah tingkah melihatnya. Jantungku mulai berdegup lebih kencang, pikiranku mendadak kacau. Setengah mati aku berusaha menyusun kalimat yang tepat untuk mengatakan tujuan sebenarnya aku datang ke jaman ini.
“Kamu,” ujarnya setengah berbisik. “Lelaki dari masa depan, untuk apa kamu datang ke sini?”
“Untuk meyakinkanmu,” jawabku cepat. “Ini memang baru pertama kalinya kita bertemu. Tapi kamu harus percaya, kita akan bertemu lagi.”
“Aku masih belum paham.”
“Kita..  akan bertemu.. lagi,” ucapku terbata. “Mungkin.. saat itu kamu tak akan mengenaliku. Karena yang kamu lihat sekarang ini.. hanya tubuh pinjaman.” Lanjutku. Sebisa mungkin aku berusaha agar kalimat absurd itu tidak terdengar mengada-ada. “Kita.. akan bertemu lagi, di waktu dan tempat yang takkan pernah kamu duga sebelumnya. Dan di masa depan nanti kamu akan menjadi…”
Kalimat itu belum selesai kuucapkan, namun seberkas cahaya putih kebiruan sudah kembali datang menerpaku. Earphone yang terpasang di telinga kiriku berbunyi bip..bip..bip pelan, kemudian suara merdu seorang perempuan terdengar dari sana.
“Maaf, waktu anda telah habis. Terima kasih telah menggunakan jasa mesin waktu.”
***


- Faizal Reza -


Kamis, 01 November 2012

Merejam


Aku tak sedang membengisi hati seorang perkasa tidak juga memeram kesenanganya. Meski memadankan fakta yang tersirat. Tapi itu bagi mereka seorang awam belaka, tidak bagiku sang penguasa hati. Mereka tidak mengerti. Tidak juga dirimu. Lantas aku tersenyum. Aku tidak menangis 
Semua kupendam di sini. Sendiri. Maka akulah yang membengisi aku. Menyengapkan kegetiran setiap tetes nila yang jatuh di lidahku sedikit demi sedikit hingga melebar dan meluap. Aku terjerembab pada lubang yang aku gali sendiri. Tapi mereka tidak mengerti. Tidak juga dirimu. Lantas aku menyeringai. Aku tidak menangis 
Aku menyerah. Aku terluka. Terluka lantaran menyerah. Bukan terluka lantas menyerah. Aku merangkul semuanya. Semuanya, bahkan yang tak sanggup untuk  aku rangkul. Tapi mereka tidak mengerti. Tidak juga dirimu. Lantas aku meringis. Aku tidak menangis 
Aku yg membuat mereka dan dirimu tidak mengerti, aku yang membuat konstitusi tunggal. Dan aku sendiri yang tak mampu mematuhinya. Kamu hanya mengerti apa yang aku batasi. Aku meng-iya-kan adanya tabir di antara kita dan kalian . Aku terluka. Hanya aku yg tahu. Tapi mereka tidak mengerti. Tidak juga dirimu. Lantas aku sekarat. Dan aku tetap tidak menangis 



Diana Minica,

Maka aku adalah,


Aku berbisik pada angin tentang ketidaksanggupanku dalam mencintainya. Bukan karena tak pantas bukan juga kurang indah. Hanyalah kesempurnaannya yang begitu membuat keberadaan perasaan ini tak lagi perlu. Maka aku adalah cahaya lilin di tengah gemerlap kota. 
Kemudian aku berbisik pada ujung daun-daun yang bergesekan terhilir angin. Betapa mencintainya adalah nafas bagi paru-paruku. Setiap detiknya adalah kebutuhan. Dan ketika mencintainya tak lagi aku sanggupi, mutlak biru sekujur tubuhku karna tak lagi mencintainya barang semenit saja. Maka aku adalah tonggak panjang di tengah badai halilintar. 
Hay angin, bisikan di telinganya, mencintainya adalah kebutuhan  di setiap detikku. Hay daun, bisikan di telinga yang satunya kesempurnaanya begitu benderang menyeliaukan segalanya apalagi seorang kecil seperti aku. Aku tak mampu bukan tak mau. Maka aku adalah jantung yang berhenti bedetak. 



Diana Monica,

Rabu, 31 Oktober 2012

#cerbung4 oleh @momonicaaw


Jakarta, Januari 2012

Eh. Aditya...
Lagi.  Pemandangan ini kembali mengisi seluruh sudut pandanganku. Ya, ini bukan kali pertama aku melihatnya di kota ini, setelah perpisahanku denganya. Hatiku sudah mulai terbiasa dengan pemandangan ini, tak lagi sehancur seperti pertama kali melihatnya beberapa bulan lalu. Tapi, perasaan magis ini masih ada, aku masih bisa merasakan saat ini jantungku berdegup hebat.

***

Jakarta, Agustus 2011

"Aaaaah... Selamat pagi, Minggu." Minggu di pagi hari. Tak biasanya, aku bertemu dengan pagi di hari minggu. Aaahhh, rasanya masih ingin bermanja-manja dengan kasurku, berkali kali aku merenggangkan otot-otot di tubuhuku, menggeliat kesana-kesini. Tapi, seluruh organ tubuhku rasanya sulit sekali kuajak berkompromi dengan pagi.
"Ayoo bangun, Di." aku memerintahkan diriku sendiri yang sedari tadi hanya mengulet di atas tempat tidur.
Aku mulai beranjak dari tempat tidurku, melawan keras rasa malas yang bergelayut di tubuhku. Kemudian langkahku terhenti tepat di depan cermin. Aku tertegun, aku melihat betapa menyedihkanya aku. Tubuhku yang kecil semakin terlihat kurus kering, lingkar hitam di sekeliling mataku semakin terlihat tegas, mata ku sembab karna menangis semalaman, wajahku  lesu dan kusam. Ya Tuhan, betapa menyedihkanya aku.
Peristiwa kemarin malam kembali berputar sempurna di otak ku. Sudut mataku mulai basah. Ahh ayolaaah. Di. Terlalu pagi untuk menangisi kesedihanmu. Aku mengibas-ngibaskan mataku yang mulai banjir, menahan rebasan air mata yang terus menyembul.
Aku tak membiarkan hatiku berpikir keras mempertanyakan pertanyaan yang belum siap kudengar jawabanya. Apa yang sedang Aditya lakukan di Jakarta? Liburan kah? Mengapa dia tak mencoba menemuiku? Atau kedatanganya ke kota ini karna wanita itu? Semua pertanyaan itu kutepis jauh-jauh. Aku ingin sedikit lebih menyayangi diriku.

***

"Lun, gue udah sampe yaa." Pesan singkat untuk sahabatku.
"Oh, iya-iya ini gue juga udah mau sampe, Di."
"Mau sampe mane? Pager rumah lu?"
"Hehehe :p"
Aluna, dia adalah orang paling menyebalkan  masalah waktu. Jam waktu yang dia gunakan bisa 2-3 jam lebih lambat dari waktu yang orang-orang di seluruh dunia gunakan. Entah dia tinggal di belahan dunia bagian mana. Aku sudah terbiasa dengan jam karetnya.
Oke, berarti aku harus menunggunya kurang lebih 2 jam lagi. Seharusnya kami janji bertemu di coffee shop di mall ini. Coffee shop baru, aku dan Aluna ingin mencobanya. Tapi aku tak ingin menunggunya lama-lama di sana, bisa berapa cangkir kopi yang harus aku habiskan untuk menunggunya? Aku memutuskan berkeliling di toko buku Gramedia, melihat-lihat buku barangkali ada yang memikat hati.

***

"Di, ngapain?"
Aku menoleh ke sumber suara itu berasal. Nathan.
"Aih, Nathan. Long time no see. Sama siapa? Korban barunya yah?" Aku melirik ke arah wanita cantik di sebelah Nathan.
"Haha resek ye. Kenalin, ini Anggun. Anggun, kenalin ini Diandra. Dulu sih wanitanya Aditya, gak tau deh kalo sekarang, haha."
"Ha..ha..ha.." Ketawa ku garing, entah bagian mana yang harus ku tertawakan. Jika itu tentang Aditya, semua terasa gelap.
"Yeee, langsung kaku. Adit ada tuh di kost-an. Dia udah pindah ke sini kan sekarang."
"Oh ya? Oh, salam aja deh ya." Lututku lemas, bibirku mulai bergetar. Aku tak berani berkata banyak, nafasku mulai tersengal-sangal. Tidak lucu jika aku pingsan di depan Nathan mendengar kabar Aditya. Ya dia di Jakarta, yang kulihat semalam memang Aditya. Aditya-ku.

***

"Hehehehe Sory lama ya gue?" Aluna menghampiri meja ku. Aku tak menjawabnya. Aku masih saja mengaduk-aduk kopiku sedari tadi. Entah sudah berapa ratus kali aku mengaduknya tanpa kuminum setegukpun. Lamunanku ikut tenggelam dalam larutan kopi yang kuaduk sendiri. Aku tenggelam.
"Di..."
"Di, yailaaaah gitu aja ngambek sih, iya iya sory gue kelamaan datengnya. Maaf ya, Sayang." Aluna merengek padaku. Bukan, aku bukan sedang marah padanya. Hanya saja keadaanku menjadi buruk setelah pertemuanku dengan Nathan tadi.
"Diiiii..."
"Gue barusan ketemu Nathan." Jawabku. Suaraku terdengar parau. Aku terus mengaduk cangkir kopiku.
"HAHH? Sama Aditya?" Aluna pun sama terkejutnya denganku.
"Nggak kok, sama cewenya."
"Terus terus?"
"Yaudah, gakpake terus-terus."
"Terussssss???"
Aku diam. Mengatur nafasku yang sejak tadi tak tau aturan.
"Yaaa, sama kaya yang mau gue ceritain ke lo hari ini. Semalem gue liat Aditya di mcD." Senyumku menyimpul. Butiran air mataku merebak berebut ingin keluar.
"Gue liat dia lagi asik banget ketawa sama temen-temenya." Air mataku tumpah, bercampur dengan seduhan kopi yang tak lagi hangat.
"Terus tadi gue ketemu Nathan di Gramedia, dia cerita kalo Aditya udah pindah ke Jakarta sekarang. Udah hampir sebulanan"
"Yaa, gitu deh pokoknya" Kalimatku mulai terbata-bata. Aku tak sanggup lagi melanjutkan ceritaku.
Aluna mencoba menenangkanku, mengusap-usap bahuku menyingkirkan kesedihan yang tertumpuk di atasnya.
"Udah ya, Di. It's clear enough. Lo udah ambil langkah buat pergi, lo gak bisa balik lagi buat ambil apa yang udah lo tinggalin,"
"Ada beberapa hal yang sengaja Tuhan ciptain untuk kemudian ninggalin kita. Untuk dilihat, seberapa besar rasa syukur kita ketika diberi dan kemudian diminta kembali." Kucermati setiap kata yang Aluna keluarkan. Tapi tidak, semua tertahan pada tembok yang aku bangun begitu tinggi. Kenapa?
"Tapi kenapa, Lun? Gue salah apa sih sama dia? Bahkan dia gak pernah nyoba buat nguatin gue saat gue hancur. Dia gak pernah nyoba buat pertahanin gue saat gue nyerah dan mutusin buat pergi. Gue gak minta maaf dia, gue cuma minta dia, gue butuh dia buat nguatin gue. Dia di mana?" Semuanya keluar. Teropi ikhlas, topeng tegar, semua hancur. Terlihat jelas lempengan-lempengan hatiku yang tertata tak beraturan. Hancur, berantakan.
"Semua pilihan, Di. Menjadi baik atau burukpun pilihan. Gue yakin Aditya punya alasan akan pilihanya sendiri."
"Ya tapi kenapa harus sejahat itu, Luuuun?" Suaraku meninggi, tangisku memecah ke seluruh peredaran darah, air mata membanjiri kesedihanku.
" Pertanyaan 'kenapa' itu semestinya ga ada. Karena setiap lo tanya kenapa, apapun penjelasannya, pasti berujung ke Tuhan. Karena Tuhan. Kalo ada masalah yang ga bisa lagi diterima sama logika, ya udah, balikin aja ke yang udah pasti; Tuhan.” 
Aku termengu, diam. Apa yang dikatakan Aluna benar. Bagaimana bisa selama ini aku begitu sombong pada Tuhan, meragukan semua rangkaian rencana-Nya hanya karna ekspektasiku akan mimpi yang terlampau tinggi. Ahh Tuhan, aku malu sekali pada-Mu.
"Hey, goy it?" Aluna menatapku, tersenyum. Senyum mengajaku bangkit dari lubang yang aku gali sendiri. Bukan lubang ini yang menjerat, tapi aku yang memang tidak ingin bangkit. Aku bodoh.
"He'eh..." Aku tersenyum, masih dengan sisa-sisa air mata yang selama ini mengaburkan pandangan ku.
Aku harus bangkit, bukan waktunya bertanya kenapa, bukan waktunya menghakimi siapa yang salah siapa yang benar, bukan waktunya larut pada kesedihan yang sengaja aku buat semakin pedih. Aku berhak bahagia, bagaimanapun caranya. Aku ikhlas, aku belajar untuk ikhlas. Aku mengikhlaskanmu. Aditya...

***

Jakarta, Maret 2012

"Halo, Bi. Kamu di mana?
"Aku masih di kantor, Di. Kayanya lembur, kenapa?"
"Yaaah, masih lama dong yaa?"
"Iya nih Sayang. Kenapa?"
"Aku mau ice cream, BiAku udah sesesai ngantor mau mampir ke mcD sama kamu maksudnya."
"Yah gimana ya. Maaf ya, Sayang. aku ada lemburan."
"Yaudah gakpapa, aku ke mcD aja sendiri. Gakpapa kan?"
"Sendiri? Naik apa?"
"Gampanglah, taksi juga banyak."
"Yaudah, jangan kemaleman ya."
"Oke, Sayang."

***

Seperti biasa, Jakarta dengan macetnya. Huffttt, siapa yang tidak menghela nafas  dengan macetnya Jakarta. Rentetan mobil berlomba klakson semerdu mungkin. Bodoh, dipikirnya dengan meng-klakson semau jidatnya jalanan bisa mereka sulap menjadi lancar? 
Aku mengeluarkan I-Touch dari tasku, music mungkin dapat mengurangi kejenuahanku dari macet. Kusandarkan kepalaku, meregangkan otot-otot yang kaku lantaran seharian kerja. Ternyata di luar gerimis, ah indah sekali kaca-kaca mobil dipenuhi titik-titik tetasan hujan. Aku memandangi sekeliling jalanan. Jalanan mulai basah, aku membuka kaca mobil menghirup bau hujan yang telah menyatu dengan bau tanah, nikmatnya.
Di kejauhan aku melihat beberapa pedagang Gultik sedang bersiap membuka lapak mereka.  Ingatanku tertuju pada Aditya. Kemarin malam aku melihatnya di sini, dan memang bukan sekali aku melihatnya di sini. pemandangan tidak asing, pria dengan jaket hitamnya sedang duduk di pinggir gerobak pedagang Gultik. Aditya. "Hay, Aditya"  Tanyaku dalam hati saat itu, seraya mengembangkan senyumku. Ya, sudah lama aku berdamai dengan hatiku, memaafkan semua luka yang telah Aditya tinggalkan, tak ada lagi perih yang mengiris tiap kali Aditya menyentuh hidupku.
Sudah kesekian kalinya aku menikmati pemandangan seperti itu dari kejauhan, dan diam-diam. Aku mulai rasakan luka itu sudah kering, sembuh dengan beriringnya waktu. Tapi entah kapan, aku berani untuk kembali hadir dalam hidupnya. Sebagai Diandra Putri yang baru.

***

Sampai mcD, aku mengambil meja di sudut, dengan dua gelas mc flury rasa caramel dan permen. Entah seperti ada yang mengganjal. Hatiku seperti dengan lantangnya menyebutkan nama Aditya. Aku mengeluarkan ponselku.

Kayaknya aku liat kamu lagi makan Gultik kemarin malam ya. Kamu di Jakarta, Dit?

-Sending Message-

Aditya is calling...

***

Di hadapanku, ada sosok yang sesungguhnya begitu aku rindukan. Jika boleh, ingin sekali rasanya menyeret tubuhku kedalam pelukanya. Tapi tidak, aku tak ingin ego ini merusak kembali apa yang dengan susah payah telah aku susun rapih.
Suasana ini hangat, walau sepertinya terasa canggung dan palsu. Tapi waktupun tau, kami hanya butuh bumbu adaptasi.
"Kamu sudah maafin aku, Di?" Tanya Aditya seketika di sela candaan kami.
Terkejut. Rasanya seperti membuka luka itu lagi. Aku tersenyum, mengaduk gelas icecream-ku. "Sudah sejak lama, Dit" Jawabku tanpa melihat wajahnya.
Aditya tersenyum, aku pun. Hati kami berbicara, aku tak banyak berkata. Biar hati  yang saling berdiskusi, menjawab pertanyaan yang tak terucap, memberi jawaban yang tak berkunci, memaafkan luka yang lama tersimpan.
Namaku Diandra Putri, tanpa luka dihati, tanpa dendam yang mengalir. Kami baru, dengan cerita baru..




#CERBUNG4

by - @momonicaaw

Kamis, 25 Oktober 2012

Surat Cinta Dari Lelaki Terakhirku



Teruntuk, wanita yang kelak menjadi ladang surgaku..


Aku menuliskan ini, sambil membayangkan beberapa peristiwa penting yang akan kita lalui kelak. Ketika air mataku, air matamu tertumpah ruah di atas punggung telapak tangan kedua orang tua kita, memohon pergi meninggalkan mereka yang sudah tua demi menghidupkan sebuah persinggahan baru bernama 'keluarga'. Kemudian juga, tangisan bahagia yang  menggema di semesta sudut kamar kita, ketika kau mengarahkan tanganku dan mengusap-usapkanya di perutmu mengisyaratkan aku bahwa ada nyawa baru yang akan melengkapi kesempurnaan surga kita. Kemudian juga tentang kesedihan, ketika Tuhan berkehendak memisahkan duniaku dan duniamu. Seperti apa rasanya, apakah semua akan hancur? Kuharap tidak, semoga kita akan tetap saling menguatkan, siapapun yang akan lebih dulu pergi ke surga kekal-Nya.
Wanitaku, wanita yang telapak kakinya akan manjadi surga bagi anak-anaku. Bersediakah kau meletakan segala beban hidupmu di atas tumpukan tanggung jawabku? Bersediakah kau menyelipkan namaku dalam barisan doa yang tiap malam kau rundingkan dengan Tuhan dalam sujudmu? Jika iya, maka izinkan aku  berjanji pada setiap bulir keringat yang mengucur di dahiku untuk selalu menafkahimu, menjagamu dengan kedua tangan, kedua kaki dan segenap organ tubuhku, melindungimu dari segala bentuk sakit yang mungkin sebagian aku ciptakan sendiri, serta menjaga hatiku dan memastikanya bahwa kaulah satu-satunya penghuni hati ini.
Wanitaku, untuk bahagia di setiap dentuman jantung dan desiran darah yang mengalir di tubuhku, mau kah kau menikah denganku?


Lelakimu, 




Diana Monica,

Senin, 22 Oktober 2012

Rabu, 10 Oktober 2012

#cerbung3 oleh @fitriandiani

Jakarta, Agustus 2011

“Wuih! Bung Aditya! Silahkan duduk Pak Redaktur.” Ujar Nathan, salah satu temanku, ketika aku mendekati meja yang dia dan beberapa temanku yang lain tempati di salah satu restoran cepat saji. Lalu disambut tawa dari yang lainnya.
Aku lupa kapan terakhir kali bertemu dengan Reza, Dion, Luthfi dan Arif. Padahal semasa SMA dulu kami ini teman satu geng sejak duduk di kelas X. Kalau Nathan, jangan ditanya. Dari SMA bareng-bareng, kuliah di Surabaya satu kampus-satu kost, sampe balik ke Jakarta juga tinggalnya satu kost.
“Gue liat-liat, makin ganteng aja lo, Dit. Udah macarin berapa cewek di Surabaya?” celetuk Dion.
“Hahaha, kampret! Elo tuh, keliatannya makin sakti ya ilmu ke-playboy-an nya. Cakep, On. Cakep!” Waktu SMA dulu, Dion yang paling banyak ditaksir sama cewek-cewek di sekolah. Karena dia eksis di OSIS, jadi fans-nya gak cuma cewek-cewek seangkatan aja, tapi juga adik kelas, bahkan kakak kelas. “Ooooh, atau jangan-jangan, gossip lo pacaran sama mba Dewi orang TU kita yang cantik itu lo jadiin kenyataan ya?”
Semuanya tertawa. Lalu berlanjut saling menimpali. Kebiasaan bercanda kami yang saling mengejek masih berlanjut hingga kami seusia ini ternyata.
“Udah, udah. Diem lo semua. Mending dengerin gue sekarang.” Luthfi memotong tawa kami. “Mumpung lo semua ada di sini, gue kasih tau sekarang aja deh ya. Takut ga sempet ketemu laginya…”
“Gaya lo, malih!” Arif menampar pelan wajah Luthfi yang terlihat serius.
“Yeee, gue beneran gilak. Bulan depan gue married. Takutnya sibuk aja gitu ngurus ini-itu terus ga sempet main-main.”
Kalimat barusan membuat aku, Nathan, Dion, dan Arif tercengang. Luthfi, yang selama ini paling kalem di antara kami, dan paling gak pernah keliatan deket-deket sama perempuan, jadi orang pertama di antara kami yang menikah.
“Anjrit! Lo abis ngehamilin anak siapa emang sampe buru-buru mau married gini?” Lagi-lagi Arif menampar Luthfi.
Lagi-lagi yang lain tertawa.
“Jangan sembarangan lo, monyong. Calon istri gue perempuan baik-baik.”
Sekelebat aku memerhatikan pasangan yang duduk di sudut ruangan itu. Di sana ada seorang lelaki yang sedang merangkul seorang perempuan yang bersandar di dadanya. Pikiranku jadi melayang. Seakan-akan pasangan yang ada di sana adalah aku dan Diandra.
Lagi apa kamu, Di? Masih suka ke McD?
“Luthfi tegaaaaaa. Temen kita masih ada yang susah move on, malah mau kawin duluan.” Ujar Nathan dengan nada sedih yang dibuat-buat, membuyarkan lamunanku. Lalu semuanya menyambut dengan heran dan bertanya-tanya. Akhirnya, hampir setengah dari waktu pertemuan kami dihabiskan dengan cerita tentangku. Dan Diandra.

***

“Diiiit. Adiiiit. Bangun dong! Gue pinjem mobil ya.” Nathan menggoyang-goyangkan badanku yang masih tertidur.
“Dit! Ya ampun. Bangun dulu napaaa. Gue ada janji sama cewek gue nih, tapi ujan gini masa gue bawa naik motor. Adiiiit!”
“haaaaaa. Iya iya pake aja. Udah sana pergi.” Jawabku dengan masih setengah sadar.
“Asik. Makasih Aditya-ku.” Nathan mencium pipiku.
“ASTAGAAAA. Siksaan macam apa ini Tuhan. Weekend. Pagi. Dibangunin paksa. Dicium pipi. Sama Nathan pula.”
Nathan cengengesan melihatku menggerutu sendiri.
Aku paling susah tidur setelah dibangunin secara paksa macam ini. Dan benar saja. Usahaku memejamkan mata sia-sia. Padahal ini hari minggu, masih jam 10 pagi. Cuacanya lagi asik untuk bermalas-malasan bahkan tidur seharian. Suara hujan di luar jendela terdengar jelas.
Eh, hujan.
Diandra begitu menyukai hujan. Sangat menyukai hujan. Jika kami dalam perjalanan mengendarai motor dan hujan turun, dia pasti akan lebih memilih untuk melanjutkan perjalanan dan membiarkan air hujan membasahi tubuhnya.
Aku asik bercengkrama dengan Diandra dalam dunia imajinasi. Lalu alam bawah sadarku menarik kedua sudut bibir; aku tersenyum.
***

“DIT! Asli! Lo harus tau apa yang gue liat tadi di Mall, Dit!” Nathan yang grasak-grusuk masuk kamar kost-ku langsung nyerocos heboh. Aku tidak begitu memedulikannya. Mataku masih tertuju ke layar ponsel, membaca satu-persatu twit yang ada di timelineku. “DIANDRA, DIT!”.
Diandra. Mendengar nama itu masih selalu membuat jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya.
“Di mana?” Aku menjawabnya dengan santai. Sok santai, tepatnya.
“Tadi pas gue turun dari mobil, gue liat dia jalan ke arah mobilnya terus cabut.”
“Oh, ya udah biarin aja.”
“Kok gue heboh sendiri sih? Harusnya kan elo yang heboh, kampret!”
“Lagi siapa juga yang nyuruh lo heboh-heboh?”
“Terserah deh. Sekarang gue mau tanya, kalo tiap hari lo masih keingetan Diandra sampe bengang-bengong kayak sapi mau dipotong gini, kenapa lo gak temuin dia aja sih? Udah satu kota, gak ada alasan buat bilang susah.”
“Dia gak bakal mau ketemu gue lagi, Nath.”
“Emang lo udah coba? Belum kan? Jangan sotoy!”
“Nggak ah. Dia pasti udah bahagia kok. Gue gak mau dia keganggu sama keberadaan gue.”
“Dari mana lo tau dia udah bahagia? Gimana kalo kenyataannya dia juga sama gak beresnya kayak lo gini sejak kalian pisah?”
Aku tersenyum kecil.
“Dia pasti udah susah payah nata hatinya yang gue ancurin, Nath. Udah setahun lebih. Dia pasti udah terbiasa tanpa gue. Masa gue mesti seenak-enaknya dateng lagi ke hidupnya? Buat apa? Ngerapihin hati gue yang berantakan sejak dia pergi? Egois banget dong gue? Nggak deh. Gue takut nyakitin dia lagi.”
“Takut nyakitin dia? Berarti lo sendiri gak yakin dong ya kalo lo gak bakal nyakitin dia lagi? Cupu ah. Udah, males gue main sama lo. Hih.”
“Sialan lo!”
Nathan ngeluyur pergi keluar kamar.
“Kunci mobil gue mana, Nath?”
“Tuh.” Ujarnya sambil menunjuk ke meja.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Lalu mengarahkan kursor ponselku ke folder tempat foto-fotoku dan Diandra tersimpan. Iya, aku masih menyimpannya di sana. Aku memandangi foto-foto itu satu persatu. Senyum Diandra itu manis. Ceria. Diandra memang perempuan yang selalu ceria. Ah, aku rindu pekikan tawanya.

***

Sebaik-baiknya kedai kopi adalah yang mampu berteman dengan sepi yang dibawa hati pengunjungnya.
Gelas kopi ke dua. Di luar masih hujan. Pandangan di luar kaca sebelahku tersamarkan oleh embun. AC di ruangan ini membuat bulu kudukku berdiri karena kedinginan. Tapi bukan itu yang menyakitkan. Bukan. Kenanganku bersama Diandra beberapa tahun belakangan ini, membeku, meruncing, membentuk pedang es yang menusuk-nusuk hatiku tiap mengingatnya. Dingin.
Aku teringat betapa dulu kami dipermainkan oleh keadaan. Dipertemukan, mendekat, dan berkali-kali menjauh untuk berkali-kali itu pula menemukan masing-masing dari kami kembali mendekat. Terlalu polos untuk mengakui bahwa kami saling cinta, tapi tak pernah bisa menjauh berlama-lama. Hahaha. Lucu kalau diingat.
Di sekolah dulu, Diandra tidak termasuk dalam kalangan cewek-cewek ribet yang suka berkerumun dan heboh sendiri. Sehari-harinya dia lebih sering terlihat bareng Risty, teman dekatnya. Selulusnya kami dan saya meneruskan kuliah di Surabaya, Diandra sekeluarga pindah ke Jakarta. Kami masih berkomunikasi seperti biasa, meski hanya via chat/sms/skype. Bercerita kejadian ini-itu yang baru saja masing-masing kami alami, dan, hmm.. pacar.
Sewaktu dia putus dengan pacar terakhirnya—sebelum akhirnya kami memutuskan untuk pacaran, aku masih ingat, sore itu mendung. Aku di rumah, dan Diandra setahuku pergi dengan pacarnya ketika itu sepulang sekolah. Lalu tiba-tiba dia menelepon, memintaku menemuinya di taman depan restoran fastfood yang biasa kami datangi.
“Adiiiit…. Gue putus masa…..” Diandra mendatangiku dengan wajahnya yang ditekuk.
“Lah? Putus? Hahahahahahaha..” aku malah menertawainya ketika itu. Diandra memukul-mukul pelan badanku karena kesal. Aku tetap tertawa.
“Kok ketawa siiiih? Jahaaaat aaaaaa…”
“Biarin, biar lo bisa jadi pacar gue gitu. Hahahahahaha.” Aku masih terus tertawa, tapi kemudian terdiam begitu menyadari apa yang baru saja kubicarakan.
Diandra tertegun, lalu gantian menertawaiku.
Lucu.
Aku juga masih ingat ketika aku meminta dia jadi pacarku. Waktu itu, aku berencana pulang ke Bandung saat liburan semester. Diandra yang telah tinggal di Jakarta bersama keluarganya meminta ikut denganku, kangen Bandung, katanya. Akhirnya di hari yang direncanakan, aku berangkat ke Jakarta menggunakan kereta. Setibanya di Jakarta Diandra telah menungguku di stasiun untuk kemudian melanjutkan perjalan ke Bandung denganku, dari stasiun yang sama.
“Heh, nyender-nyender bayar ya.” Gurauku di perjalanan. Diandra hanya membalasnya dengan menjulurkan lidahnya ke arahku.
“Di, kenapa sih kita ga pacaran aja?” tanyaku.
“He?”
“Pacaran, Di. Pacaran.”
“Mau sih, tapi nanti kita LDR-an dong?”
Aku tertawa mendengar jawabannya. Mau sih itu jawaban yang terlalu polos untukku.
“Ih, kamu bercanda ya? Kirain serius.”
“Aku serius tau. Cuma lucu aja denger jawaban kamu tadi. Sok-sok mikir dulu atau gimana kek gitu, jangan langsung ‘mau sih’, ketauan banget nyimpen-nyimpen hasrat pengen pacaran sama akunya.” Aku tertawa terkekeh-kekeh menjawabnya.
Diandra tertawa. Dan tak mengatakan apapun, malah kembali menyandarkan kepalanya di bahuku.
Tak ada kelanjutan dari percakapan itu selama kami di Bandung, sampai aku mengantarnya pulang ke rumahnya di Jakarta. Setelah istirahat beberapa jam di rumahnya sambil ngobrol-ngobrol dengan adiknya, aku pamit pulang karena harus mengejar jam keberangkatan travelku untuk kembali ke Bandung.
Dalam perjalanan, aku menerima sms dari Diandra:
Hati-hati ya, pacarku.
Aku kaget dan terheran-heran dengan sms Diandra barusan.
Pacar?
Jawabku singkat. Diandra membalas:
Hahaha, iya, pacar. Mulai sekarang, gak ada cewek lain yang boleh deket-deket sama kamu. Soalnya kamu udah jadi pacar aku. :p
Aku tersenyum. Diandra mengiyakan permintaaanku di kereta dalam perjalanan ke Bandung satu minggu yang lalu.
Siap, pacar! :D
Bertahun-tahun, dan hanya kalimat sesimple itu yang menandakan komitmen kami. Bodohnya, setelah keadaan menyerah mempermainkan kami, aku malah mempermainkan perasaannya.
Aku tersadar dari lamunanku ketika menyium wangi yang tiba-tiba memenuhi hidungku. Wangi yang kuhapal betul. Parfum Diandra. Aku celingukan mencari-cari di mana sumbernya. Barangkali Diandra. Tapi aku tak menemukan sosoknya di sana.

***

Jakarta, September 2011

Pernikahan Luthfi.
Semuanya sudah siap. Para tamu telah duduk rapi mengelilingi meja tempat pengantin akan melangsungkan akad nikah. Aura bahagia memenuhi wajah Luthfi. Setelah jas hitam dan kemeja merah marun yang dikenakannya nampak serasi dengan si mempelai wanita yang menggunakan kebaya modern senada dengan warna kemeja Luthfi. Penghulu, wali, dan para saksi sudah duduk siap di tempatnya. Ayat suci Al-Quran dilantunkan. Suasana berubah hening. Setiap gerakan yang dilakukan orang-orang yang ada di sana serasa terdengar semuanya. Dari arah pintu masuk datang seorang perempuan, dengan dress hijau lumut selutut yang membalut tubuh kecilnya. Ia berjinjit-jinjit karena setiap kali hak tinggi dari sepatu yang dikenakannya bersentuhan dengan lantai, menimbulkan suara menggema di ruangan ini. Perempuan itu mengambil tempat duduk di bagian yang berseberangan denganku. Pandanganku tak lepas dari sosoknya sejak tadi. Itu Diandra. Entah dia menyadari keberadaanku atau tidak.
Dia menolehkan wajahnya ke kanan dan ke kiri, mungkin mencari temannya. Aku masih saja memandangnya dari tempatku. Lama sekali mataku kehilangan pemandangan ini. Diandra..

***

Jakarta, Januari 2012

"Hey. Kamu kok udah di sini aja? Gak bilang-bilang aku lagi." Tanyaku ketika memasuki kamar kosku dan menemukan seseorang sedang duduk bersandar di tempat tidur sambil menonton tv.
"Abis aku teleponin kamu dari tadi gak bisa. Ya udah aku mampir ke sini aja deh balik dari kantor."
Aku membenahi sepatu dan tas kerjaku. Lalu masuk kamar mandi untuk bersih-bersih.
"Kamu udah makan belum, Dit? Aku lapeeeer." Tanyanya dari luar.
"Belum sih. Abis ini kita ke depan ya, cari makan."

***

Empat porsi Gultik dan dua botol EsTea untuk dua orang. Aku dan Nina.
"Mau ke mana lagi kita, Na? Aku anter kamu pulang aja ya? Udah malem."
"Ngga aaah. Baru juga jam 9."
"Emang gapapa balik malem?"
"Iya gapapa. Nanti aku telepon orang rumah. Lagi juga besok gak kerja. Malem Sabtuan kita. Hehehe."
Aku tersenyum. "Dasar. Terus ke mana dong kita?"
"Mana ya? Hmmm. Taman situ aja mau gak?"
"Boleh. Yuk." Aku menggandeng tangan Nina menuju mobilku.

***

Heart beats fast, colours and promises
How to be brave, how can I love when I'm afraid to fall

"Ya ampun! Sampe pengamen sini kena demam A Thousand Years juga!? Kirain orang-orang di soundcloud doang." Celetuk Nina sambil terkekeh. Lalu mengajakku duduk di ayunan yang tak jauh dari tempat pengamen itu.

But watching you stand alone, all of my doubt suddenly goes away somehow
                                                                                                                        
"Dit, kamu pernah ngerasain sakit hati?"
"Hah?"
"Iya. Kamu pernah sakit hati ngga?"
"Ya pernah lah, Na. Masa gak pernah, emang kamu kira aku bukan manusia apa?" Jawabku bercanda.
Nina tersenyum seraya menundukan kepalanya. Kakinya yang menjuntai mengayun ayunannya pelan.
"Gak enak ya rasanya sakit hati."
Aku tak menjawab apapun. Desiran angin malam menyapu pelan rambut sebahu Nina. Matanya menerawang. Entah kemana pikirannya terbang.
"Kamu kenapa, Na?"
Gantian Nina yang terdiam. Suasana hening beberapa saat. Lalu Nina mulai kembali berbicara. "Sakit hati karena apa yang masih kamu ingat betul rasanya, Dit?"
Pertanyaan Nina, sebenarnya enggan aku jawab. Aku bosan terus-terusan membolak-balik cerita di halaman yang itu-itu saja. Tapi perlahan aku menjawabnya. "Karena menyakiti hati yang di dalamnya penuh dengan aku." Nafasku tertahan di tenggorokan. Sakit itu kurasakan lagi.
"Maksudnya?" Nina bertanya heran.
Aku tersenyum simpul.
"Coba bayangin. Kamu ada di satu ruangan, terus kamu ngerakit bom, dan pas udah jadi, kamu tes ledakin bomnya di ruangan itu, di ruang yang lagi kamu tempatin."
"Iya, terus?"
"Apa yang terjadi? Siapa yang hancur?"
"Ruangan itu dong." Jawab Nina. "Dan aku. Aku di dalamnya."
"Pinteeer." Aku mengacak pelan rambut Nina.
"Terus, Dit?"
"Terus, ya begitu juga yang terjadi sama aku. Aku ngancurin hati yang di dalamnya penuh dengan aku. Hasilnya? Aku juga sama hancurnya.”
“Kalau gitu, aku pemilik ruangan itu. Aku sedih ruangan itu dihancurin sama seseorang yang udah aku percaya untuk nempatin. Untuk tinggal di sana.”
Mata Nina mulai berkaca-kaca. Aku meraih tangannya, mengelusnya pelan.
“Sakit banget ya, Na?
“Hah? Apa sih kamu, Dit. Hahahaha.” Nina mengusap sudut matanya dengan tisu. “Ya iyalah, banget.” Nina melanjutkan kalimatnya. “Eh, tapi gak tau juga sih. Kalau aku ya, sakit, sakit banget. Sakit banget rasanya ngeliat hubungan yang aku jaga dengan seluruh yang aku bisa, hancur. Dihancurin sama pemiliknya sendiri. Berkali-kali.” Air mata Nina jatuh lagi.
Perasaan bersalah kepada Diandra itu menghantuiku lagi. Aku melihat Nina dengan begitu pedihnya bercerita tentang sakit hatinya. Diandra mungkin sama sakitnya dengan Nina. Atau bahkan lebih.
“Rasanya sakit banget, Dit. Di dalam dada, tapi gak tau di mana. Aku gak tau pasti di mana sakitnya.” Nina terkekeh-kekeh tertawa, tapi matanya berlinangan air mata.

***

Jakarta, Maret 2012

Kayaknya aku liat kamu lagi makan Gultik kemarin malam ya. Kamu di Jakarta, Dit?

SMS dari Diandra.
Aku tersentak. Kaget. Entah berapa banyak usahaku menghubunginya yang diabaikan, dan sekarang dia datang seperti tak ada yang terjadi kemarin-kemarin. Kemunculan tiba-tiba Diandra membuat tubuhku panas-dingin. Bagaimana? Aku harus apa?
Aku memutuskan meneleponnya.
“Halo.”
“Halo..” aku menjawabnya. Kaku.
“Ya, kenapa, Dit?”
“Gapapa, Di. Iya kemarin malam aku di sana. Kamu juga?”
“Nggak sih, cuma kebetulan lewat aja terus kayak liat kamu, ternyata bener kamu.”
“Iya, aku. Kamu lagi di mana?”
“Lagi di mcD, Dit. Pulang kerja iseng aja mampir.”
“Aku ke sana, boleh?”
“Hah?”
“Aku susulin kamu ke sana, boleh nggak?”
“Hmm.. Ya boleh aja sih. Ya udah sini aja.”
“OK, 20 menit lagi aku sampe. See you there.”
“OK..”

***

“Masih sering makan es krim?”
“Haha, iya, masih.”
Diandra kini ada di hadapanku. Diandra yang sekian lamanya menghilang. Menghindariku. Lari tanpa pernah ada keberanian di diriku untuk mengejarnya. Dia di hadapanku sekarang. Menikmati segelas es krimnya. Es krim kesukaannya. Es krim yang sama dengan yang dulu sering dia pesan setiap kami ke sini.
“Lama banget gak liat kamu. Dari jarak sedekat ini.”
“Tapi kalo dari jarak jauh, sering? Hehehehe.” Diandra menanggapiku dengan candaannya.
Aku tersenyum. Candaan Diandra masih sama hangatnya seperti dulu.
“Kamu apa kabarnya, Di?”
“Hmm, ya gini, baik kok. Kamu gimana?”
Nggak pernah sebaik dulu, sejak kamu pergi dari aku, Di. Jawabku dalam hati. Iya, hanya dalam hati. Mulutku berbicara lain. “Kayak yang kamu liat deh, sehat kan?” Aku mengepalkan tangan kanan dan berlaga menunjukan otot lenganku yang berbalut kemeja.
Diandra tertawa. Akhirnya aku bisa melihat tawa itu lagi. Tawa sederhana yang selalu menenangkan perasaanku.

***

Pukul 23.05. Aku baru bisa merebahkan diri di tempat tidurku. Ponsel. Aku mengambil ponselku dari kantong tas kerjaku.
9 new missedcalled Nindya Zafina
4 new messeges

Diandra Putri
22:10
Terima kasih sudah mengantar sampai rumah ya, Aditya. Hati-hati di jalan.

Nindya Zafina
21:59
Baby please, are you OK? L
20:35
Hello? Are you there?
19:15
Sayangku udah pulang? Aku baru aja sampe rumah. Macetnya parah banget aku sampe aku kelaparan di jalan. Eh tapi sekarang udah kenyang deng, mama masak soto daging kesukaan aku. Hihihi

Ah, iya. Nina. Aku lupa mengabari pacarku ini sejak sore tadi. Aku bisa membayangkan bagaimana raut wajah khawatirnya yang menunggu-nunggu kabarku.

Calling Nindya Zafina.




#CERBUNG3 

by - @fitriandiani